Hidupgaya.co – Suara anak perlu didengar dalam menghadapi krisis iklim global dewasa ini. Hal ini penting mengingat anak bisa menjadi agen perubahan terkait isu iklim yang memiliki dampak luas.
Terkait dengan itu, anak-anak ini menyampaikan suara, yang tertuang dalam spanduk sepanjang 220-meter ditujukan kepada para pemimpin dunia G20, di mana Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan akbar ini. Spanduk yang berisi pesan-pesan itu terbentang di pelataran Monas bagian Barat Daya Jakarta, Indonesia, Sabtu (29/10/2022) pagi.
Ratusan anak dari 12 negara dan 4 benua berpartisipasi menyuarakan dampak krisis iklim yang mereka rasakan serta harapan kepada pemimpin dunia untuk memprioritaskan aksi nyata atasi krisis iklim dan kemiskinan pada anak.
“Kami ingin suara kami didengar. Anak muda sekarang semakin sadar akan tantangan dan risiko dari krisis iklim yang akan dihadapi. Bersiap menghadapi risiko tersebut, kami memilih untuk menjadi agen perubahan,” ujar Aruna (17), siswa SMA anggota Child Campaigner Yogyakarta – Save the Children Indonesia dalam temu media di Jakarta, hari ini.
Aruna mengatakan, sebagai anak muda, dia dan teman-temannya telah melakukan aksi nyata, di antaranya membersihkan sampah plastik di bantaran sungai, memilah sampah, tidak menggunakan plastik, menanam pohon bakau, meningkatkan kesadaran anak – anak terhadap pentingnya menjaga lingkungan dengan pentas seni. “Kami juga melakukan melakukan advokasi mengenai krisis iklim. Dengan cara ini kami menunjukkan bahwa kami tidak hanya peduli, tapi juga bertindak secara nyata,” terangnya.
Hal senada disampaikan Grace (17), anggota Child Campaigner Sumba NTT. Menurut siswa di SMA ini, dampak ganda kekerasan iklim dirasakan anak-anak. “Ancaman ganda itu berupa bencana krisis dan kemiskinan. Di Sumba, sumber air terlalu jauh juga kekeringan. Kami terpaksa jalan kaki dengan jarak cukup jauh untuk mengambil air. Banyak di antara kami yang terlambat sekolah. Kalau kami tidak mau ambil air, tak jarang kami mengalami kekerasan verbal dan fisik,” ujarnya.
Kemiskinan juga menjadi masalah di Sumba. Mata pencaharian utama penduduk Sumba adalah bertani. “Perubahan iklim menyebabkan gagal panen, yang berpengaruh pada pemenuhan hak-hak anak. Pangan dan gizi tidak terpenuhi, demikian juga pakaian. Hak-hak kami dikesampingkan untuk hal lain yang dianggap lebih penting,” imbuh Grace.
Aruna juga menyuarakan tentang keadilan iklim baginya hal ini menyangkut dua dimensi yaitu hak hidup dengan kualitas lingkungan sehat yang sama dan jaminan lingkungan aman serta lebih baik untuk para generasi masa depan. “Untuk itu, keadilan iklim mesti disuarakan dan diadvokasi oleh semua pihak baik kepada pemerintah, perusahaan, masyarakat sipil, akademisi, dan juga kami semua anak – anak dan orang muda,” ujarnya.
Untuk itu, sebut Aruna, penting anak-anak diberi hak dalam berpartisipasi terkait pembuatan kebijakan dan pembangunan yang akan sangat berpengaruh terhadap bumi.
Aruna dan Grace bersama teman-teman campaigner lainnya, Putra (17) dari Jakarta dan Riziq (18) dari Sulawesi Tengah, bergerak mengedukasi dan melakukan edukasi terkait perubahan iklim dengan teman sebaya melalui media sosial dan kerja sama dengan komunitas anak di lingkungannya.
Laporan Global Save the Children ‘Generation Hope’ memaparkan bahwa diperkirakan 774 juta anak di seluruh dunia, atau sepertiga dari populasi anak dunia, hidup dengan kemiskinan yang parah dan risiko iklim yang tinggi.
Indonesia menempati peringkat ke-9 tertinggi secara global terkait jumlah anak yang mengalami kedua ancaman tersebut.
“Suara anak dari empat benua sangat penting untuk segera didengarkan dan ditanggapi oleh para pemimpin di G20. Pada G20 Summit November nanti, kami mendorong agar Para pemimpin G20 segera memprioritaskan aksi nyata untuk mengurangi emisi dan membantu anak-anak yang paling terkena dampak krisis iklim dan kemiskinan,” tegas Troy Pantouw selaku Chief of Advocacy, Campaign, Communication & Media – Save the Children Indonesia.
Laporan “Generation Hope” juga menunjukkan lebih dari 60 juta anak di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu kali kejadian iklim ekstrem dalam setahun. Fakta ini memperjelas bahwa anak-anak menanggung beban lebih, sebab tumbuh dalam situasi terancam, disamping anak juga memiliki kondisi kerentanan baik secara fisik, sosial maupun ekonomi.
Suara anak dari empat benua merupakan bagian dari kampanye Aksi Generasi Iklim Save the Children Indonesia. Pengumpulan suara anak anak dilakukan kurang lebih empat bulan dengan melalui berbagai proses.
Di Indonesia, sejak Juli silam Save the Children berhasil menjaring lebih dari 20.000 suara anak mengenai persepsi mereka tentang dampak krisis iklim yang mereka rasakan.
Suara tersebut dipublikasikan melalui berbagai aksi kegiatan yang diinisiasi oleh anak-anak dan orang muda yang tergabung sebagai Child Campaigner Save the Children Indonesia di Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Sulawesi Tengah. (HG)