Hidupgaya.co – Ada beragam cara dalam mencintai alam sekaligus berbuat nyata untuk menjaga bumi tetap layak huni dan menerapkan gaya hidup berkelanjutan. Bagi Bina Karya Prima (BKP), aksi nyata dilakukan melalui Tropical Go Green, yaitu dengan ‘menyulap’ sampah plastik menjadi produk tas dan sepatu yang memiliki nilai ekonomi dan fungsi yang tinggi.
Merayakan Hari Anak Nasional, bersama anak-anak pemulung yang menuntut ilmu di Sekolah Alam Tunas Mulia di Bantar Gebang, Bekasi, Tropical Go Green menyerahkan bantuan berupa tas dan sepatu hasil daur ulang sampah.
Disampaikan Aristo Kristandyo Senior VP Marketing PT Bina Karya Prima, selama program pengumpulan sampah periode Mei-Juni 2022 di sejumlah titik tong sampah di Jakarta, jika dikonversikan akan menghasilkan 400-500 tas dan sepatu. “Ini gerakan yang sengaja kami lakukan, dan hanya dalam kurun sebulan bisa terkumpul sampah yang dikonversikan menjadi tas dan sepatu yang selanjutnya akan diberikan untuk anak-anak yang membutuhkan,” ujar Aristyo dalam temu media di Sekolah Alam Tunas Mulia Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (21/7/2022).

Aristo mengatakan, tas dan sepatu melambangkan masa depan anak-anak. “Tas lambang anak-anak membawa bekal menggapai masa depan, sedangkan sepatu melambangkan langkah menuju ke sana. Ini bekal mereka menggapai cita-cita. Anak-anak inilah masa depan itu,” tuturnya.
Dia menambahkan, generasi Milenial mencakup 20 persen dari populasi dan Gen Z 25 persen. “Sampah plastik yang masih jadi masalah akan berdampak juga kepada mereka. Makanya perlu upaya kesadaran untuk mengatasi sampah plastik secara bersama, dimulai dari diri kita. Aak-anak kelak akan jadi penerus inisiatif ini,” ujar Aristo.
Indonesia menghasilkan hampir 7 juta ton sampah plastik setiap tahun tetapi hanya sekitar 7 hingga 10% yang berhasil didaur ulang. Masih banyak orang tidak tahu bahwa jenis plastik tertentu seperti botol PET didaur ulang dengan laju hampir 70 persen.
Sebagai upaya untuk mengurangi sampah plastik, imbuh Aristo, Tropical berkeinginan menciptakan botol plastik yang siap didaur ulang. “Di masa depan botol plastik ini akan diaplikasikan untuk dibuat jd botol kembali. Kami juga mendukung pemilahan limbah plastik, serta memberikan dukungan kepada komunitas terdampak. Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu menggapai masa depan anak-anak, akan kita lakukan,” bebernya.
Dengan kata lain, sebut Aristo, Bina Karya Prima dan produk yang bernaung di bawahnya, khususnya Tropical, akan melakukan pengurangan dampak limbah plastik sebesar-besarnya. “Anak-anak merupakan generasi penerus yang akan merawat jantung hati dan jantung bumi kita,” tegas Aristo.
Sekolah Khusus Anak Pemulung
Kesempatan sama, Juwarto selaku pendiri Sekolah Alam Tunas Mulia, mengatakan sebanyak 60 persen anak-anak Bantar Gebang tidak bersekolah. Berangkat dari hal itu, dibengunlah sekolah gratis bagi anak – anak pemulung sampah, di daerah yang tidak terjangkau infrastruktur pemerintah. “Tujuannya ingin memutus mata rantai kemiskinan. Sekolah alam ini sepenuhnya digratiskan. Semuanya kami permudah. Tidak ada seragam, tidak ada sepatu. Sekolah juga seminggu masuk tiga kali,” ujar Juwarto seraya mengatakan saat ini Sekolah Alam Tunas Mulia memiliki 300 anak didik.
Sekolah hanya masuk tiga kali seminggu tak lain agar anak-anak itu tetap bisa membantu penghasilan keluarga dengan mengumpulkan sampah plastik. Juwarto menambahkan, tidak seperti sekolah pada umumnya, mata pelajaran yang diajarkan bukan hanya sebatas pendidikan formal, namun juga prakarya, misalnya mendaur ulang barang bekas, dan sebagainya.
Juga tersedia asrama khusus untuk anak penghafal Al Quran. “Ada sekitar 51 anak, semua gratis. Dana kami peroleh dari donatur yang memang peduli,” ujar Juwarto seraya mengatakan tenaga pendidik juga diberikan honor sekadarnya.
Bunda Yati yang sudah 16 tahun mengajar di Sekolah Alam Tunas Mulia mengaku mendidik anak-anak pemulung ini dengan ikhlas. “Gaji minta jatah suami saja,” ujarnya dengan suara ringan.
Juwarto mengatakan, hall yang bisa menyelesaikan masalah anak-anak pemulung dan memutus mata rantai kemiskinan adalah pendidikan. “Yang bisa selesaikan masalah mereka bukan duit hanya pendidikan. Ada 7 anak berhasil kuliah. Saya minta ke sejumlah universitas untuk kasih anak-anak ini beasiswa. Saat ini, sudah ada 4 anak lulusan Sekolah Alam Tunas Mulia yang menjadi sarjana. Kalau pendidikan memang hasilnya lama. Tapi kita tunjukkan kepada masyarakat pendidikan bisa mengubah hidup mereka. Anak-anak pinggiran ini perlu perhatian khusus agar mau mau belajar di sini,” terangnya.
Nugie, musisi yang peduli pada masalah lingkungan, menyampaikan apresiasi atas inisiatif Tropical Go Green. “Kalau dulu di tahun 1998 saya sempat hopeless kalau ngomongin isu lingkungan, tapi sekarang ini makin banyak teman dalam merawat bumi tercinta. Salah satunya ya Tropical Go Green ini,” ujarnya.
Musisi yang selalu menyuarakan kepedulian terhadap alam melalui lagu-lagunya ini mengaku takjub dengan karya anak-anak pemulung dari limbah/sampah. “Saya pengen banget bawa anak-anak ke sini agar mereka belajar bikin keterampilan mengolah sesuatu dari sampah,” ujarnya.
Nugie mengatakan, kita bisa belajar mencintai alam dari hal kecil. “Ngumpulin botolnya dulu, nggak buang sampah sembarang, bijak pakai listrik dan bawa tumbler untuk tempat minum sendiri. Hal-hal simpel ini akan berarti jika banyak yang melakukannya. Mulai dari diri sendiri,” pungkasnya. (HG)