Hidupgaya – Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) mengalami penurunan kinerja di kuartal pertama 2017. Tren pertumbuhan minuman ringan tertekan hingga mengalami minus 3-4 persen.

Hal ini disesalkan karena menurut Ketua Asrim Triyono Pridjosoesilo industri makanan dan minuman masih merupakan sektor strategis terhadap penopang PDB nasional, dengan berkontribusi sebesar 33% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor industri non-migas.
“Industri minuman ringan siap saji nonalkohol (NRTD) memiliki nilai pasar mencapai lebih dari Rp90 triliun, didukung lebih dari 4 juta pekerja langsung yang bekerja di bawah berbagai perusahaan produsen minuman ringan, baik berskala multinasional hingga UMKM,” kata Triyono dalam dalam acara Asrim Industry Outlook 2017 di Hotel Puri Denpasar Jakarta, baru-baru ini.
Terlepas dari bonus demografi Indonesia yang menyediakan banyak potensi bagi pertumbuhan industri minuman ringan, dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan sektor ini masih berada dalam fase pertumbuhan yang sangat rentan.
Ini terlihat dari tren pertumbuhan sektor dalam 4 tahun terakhir hanya berada dalam kisaran 4 persen-8 persen, sedangkan jika berkaca pada awal tahun 2000-an, angka pertumbuhan industri minuman konsisten berada pada kisaran 10 persen-15 persen.
Di sisi investasi, industri makanan dan minuman (mamin), termasuk minuman ringan siap saji di dalamnya, masih menjadi salah satu penyumbang investasi yang signifikan. Data realisasi triwulan I 2017 dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, sektor ini menyumbangkan nilai investasi sebesar Rp18,5 triliun.
Namun demikian, Triyono tak memungkiri, dari data yang ada juga dapat terlihat bahwa para investor asing masih memperlihatkan keraguan untuk berinvestasi di sektor ini, di mana sebagian besar investasi masih didominasi oleh Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Namun Triyono optimistis, terlepas dari pertumbuhan yang masih rentan ini, industri minuman ringan masih menyediakan potensi yang sangat besar.
Bonus demografi Indonesia sebagai negara dengan lebih dari 250 juta konsumen, dimana lebih dari 25 persennya berusia produktif, menyediakan potensi pertumbuhan pasar konsumsi yang menjanjikan, tidak hanya di kelas menengah, tapi juga konsumen menegah bawah.
Triyono menambahkan, data Biro Pusat Statistik (BPS) 2013 menunjukkan bahwa konsumen Indonesia membelanjakan 2 persen dari belanja bulanan mereka untuk minuman. Jika disejajarkan dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN, pengeluaran belanja produk makanan – minuman konsumen Indonesia masih berada di antara yang terendah. “Hal ini menunjukkan potensi pertumbuhan Industri minuman Indonesia masih sangat prospektif,” bebernya.

Wacana Cukai Menggelisahkan
Dalam kesempatan yang sama Triyono mengungkapkan kegelisahan para pelaku industri minuman ringan terkait dengan rencana Kementerian Keuangan mengenakan tarif cukai pada minuman berpemanis dan soda.
Saat ini, pembahasan cukai untuk pengendalian minuman berpemanis dan soda ini masih dibahas dengan DPR.
Menurut Triyono, penerapan cukai akan berdampak langsung pada beban biaya dan harga jual. Menurutnya, alasan pengendalian minuman ringan dan berpemanis untuk menanggulangi Penyakit Tidak Menular (PTM) tidak tepat.
“Penyakit tidak menular seperti obesitas dan diabetes merupakan kondisi yang kompleks – yang tidak hanya disebabkan oleh satu jenis produk minuman atau makanan tertentu,” kilahnya.
Triyono lebih lanjut menambahkan, penyakit tidak menular itu lebih disebabkan karena pola hidup masyarakat yang kurang sehat, bukan semata soal pengendalian minuman soda dan berpemanis. “Ini berkaitan dengan pola hidup masyarakat secara total, seimbang dengan pola konsumsi dan aktivitas fisik yang seimbang. Karenanya tidak bisa diselesaikan dengan satu mekanisme,” tandasnya. (HG)