“Di antara berjuta bintang di langit hanya yang kemilau seperti berlian yang akan tampak. Saat dunia menyajikan banyak pilihan, hanya cemerlang yang akan diperhatikan.”

Kalimat ini menjadi pembuka buku besutan Amalia E. Maulana, konsultan branding dan ethnographer, yang berjudul “Personal Branding, Membangun Citra Diri yang Cemerlang.” Buku setebal 289 halaman ini dirilis pada akhir Mei lalu di Jakarta.

Karya ini adalah buku ketiga setelah pada 2009 ia menerbitkan “Consumer Insight via Ethnography” dan “Brandmate: Mengubah Just Friend Menjadi Soulmate” pada 2012.

Selalu menarik mengulik buku karya perempuan energetik ini. Saya kebetulan tidak dapat menghadiri peluncuran buku ketiganya, namun pendiri Etnomark Consulting ini berbaik hati mengirimkan satu eksemplar untuk saya ‘lahap’.

Ada pesan tulisan tangan yang ditulis oleh sang penulis, lengkap dengan tanda tangannya: Dear Mbak Eny, Semoga Semakin Cemerlang (5/6/2015). Ah, superb. Saya merasa tersanjung:)

Sejak lama saya menyukai gaya penulisan Amalia, yang di sela kesibukannya masih mengajar di Binus Business School, IPMI Business School dan LSPR Graduate Program. Bahkan beberapa kali ia menyelenggarakan kelas untuk jurnalis, pro bono alias gratis.

Saya mulai jatuh cinta dengan buku kedua doktor dari School of Marketing University of New South Wales, Australia, yang membuka mata sekaligus menyadarkan bahwa mengubah ‘teman’ menjadi ‘belahan jiwa’ bisa dilakukan. Bukan hanya dengan pasangan, namun juga dalam urusan brand alias merek.

Di buku terbarunya, Amalia masih menulis dengan gaya lugas, namun mudah dipahami, karena dia memaparkan dengan contoh nyata. Branding yang semula terlihat rumit dikupas dengan cara bertutur renyah, serta tidak menggurui.

Personal brand, kata Amalia, menjelaskan siapa diri Anda dan mengapa orang mau merekomendasikan Anda kepada orang lain.

Jeff Bezos, pendiri Amazon.com mengungkapkan hal gamblang mengenai personal branding ini. “Your brand is what people say about you when you’re not in the room”. Yang artinya kurang lebih adalah, brand Anda adalah apa yang dikatakan orang lain, bahkan saat Anda tidak berada di dekat mereka.

Salah Kaprah Personal Branding

Amalia bersepakat dengan ungkapan pendiri Amazon.com tersebut. Sayangnya, masih banyak salah kaprah tentang personal branding, yang kerap diterjemahkan sebagai ‘pencitraan’ dalam konotasi negatif.

Ternyata, personal branding bukan hanya untuk artis atau pesohor, tokoh masyarakat, namun bisa untuk siapa saja yang ingin cemerlang di mata stakeholder (lingkungan terdekat atau pemangku kepentingan). Intinya, personal branding penting untuk membangun reputasi lebih baik untuk pribadi maupun karir secara profesional.

Berbeda dengan miskonsepsi ‘pencitraan’, sejatinya personal branding bukan bertujuan untuk menjadikan diri terkenal, tetapi menjadikannya orang terpilih. “Personal brand cemerlang adalah seseorang yang selalu dipilih dalam setiap kesempatan. Dia dipercaya bisa memberikan manfaat yang diharapkan oleh stakeholders-nya (orang-orang di sekitarnya),” urai Amalia.

Personal branding bukanlah ilmu sederhana, meskipun sekilas terlihat gampang. “Sering disederhanakan, hingga pada akhirnya cenderung disepelekan,” ujarnya.

Amalia Maulana bookcover

Untuk bisa memahami personal branding dengan baik, lanjut Amalia, kita perlu mempelajari konsep-konsepnya sehingga bisa lebih cepat mencapai cita-cita personal brand-nya dengan cara efektif dan efisien.

Personal branding bukan menjadikan seseorang menjadi sempurna. Personal branding menjadikan seseorang menjadi cemerlang. Cemerlang tidak sama dengan sempurna,” tandas Amalia.

Personal brand ibarat sebuah berlian yang sinarnya cemerlang di mana pun ia berada. Bukan hanya cemerlang di mata satu atau dua orang saja, tetapi juga bersinar cemerlang di mata berbagai audiensnya. Baik itu lingkungan keluarga, kolega kantor atau komunitasnya. “Cemerlang seperti sebuah berlian, memiliki nilai yang tinggi di mata orang-orang sekitarnya,” tandas perempuan yang aktif menulis kolom mengenai branding solution di berbagai media massa atau jejaring sosial.

CEO Etnomark Consulting ini berulangkali menekankan pentingnya pelaku personal branding untuk memperbanyak “soulmate” alias belahan jiwa atau dia menyebutnya sebagai modal sosial (social capital), terutama ketika keadaan tenang dan baik-baik saja. “Ujian brand atau ujian reputasi itu bisa datang kapan saja yang tidak kita ketahui waktunya. Saat ujian itu datang, pastikan banyak soulmate yang siap menjadi brand guardian (pembela merek). Jangan menunda membentuk dan menciptakan soulmate,” ujarnya.

Amalia menekankan, dengan memiliki banyak soulmate akan menjadi pencapaian dan performance tertinggi pada sebuah brand. “Soulmate akan merekomendasikan dan bersikap melindungi ketika seseorang bermasalah. Soulmate artinya memiliki teman sejati yang jadi andalan untuk brand personal yang bisa membantu dalam situasi tersulit,” jelasnya.

Soulmate, tandas Amalia, adalah aset brand yang sangat berharga. “Soulmate bukan hadiah yang jatuh dari langit. Ini ibarat sebuah berlian yang sulit untuk mendapatkannya karena nilainya tinggi. Dus, mendapatkan soulmate bukan pekerjaan sederhana atau disederhanakan,” bebernya.

Menyoroti miskonsepsi branding yang kerap diartikan sebagai ‘pencitraan’ Amalia memaparkannya dalam uraian menarik. “Memang pencitraan itu nama lain dari branding. Dan branding itu adalah kegiatan menciptakan image atau citra tertentu yang positif, bukan negatif. Jika selama ini pencitraan diasosiasikan dengan citra negatif, itu karena pelaku-pelakunya yang salah langkah,” ujarnya.

Pencitraan yang tidak menggambarkan keadaaan yang sebenarnya, kata Amalia, bukanlah personal branding yang direkomendasikan. “Pencitraan yang harus dilakukan adalah pencitraan yang tulus, yang menggambarkan keadaaan yang sebenarnya. Menggambarkan janji yang bisa ditepati,” urainya. “Jadi bukan pencitraan semu atau imitasi, melainkan pencitraan sejati.”

Amalia juga menegaskan, personal branding bukanlah mengubah diri menjadi orang lain. “Personal branding yang benar adalah yang menjadi dirinya sendiri. Memberikan cinta yang autentik, yang mencerminkan sejujurnya siapa diri seseorang,” jelas Amalia. Dia menegaskan, personal branding bukan semata urusan kemasan, sebatas aksesoris. “Terpenting adalah mengenali diri sendiri dengan baik, mengetahui nilai diri yang ditawarkan kepada orang lain dan mendapatkan sambutan.”

Amalia mencontohkan personal brand sejumlah nama yang mungkin pernah dan selalu dikenang. Norman Kamaru misalnya, ngetop dengan “Chaiya-Chaya” atau Sinta & Jojo dengan “Keong Racun”. Dua nama itu adalah contoh personal brand dadakan yang hanya sesaat. Mereka muncul secara instan lewat Youtube tetapi tidak lulus ujian waktu. Cepat melejit, tetapi juga cepat runtuh.

Namun tak selamanya yang dadakan tak bisa bertahan. Contoh konkret adalah Ayu Ting-Ting dan Justin Bieber. Meski hanya muncul lewat Youtube dalam sekejap, namun mereka lulus ujian waktu. Cepat melejit namun bisa mengelola brand-nya sehingga masih diakui sampai kini.

Amalia menekankan kunci sukses brand cemerlang, yaitu tetap relevan (memberikan apa yang dibutuhkan), selalu konsisten (nilai yang ditawarkan tidak berubah-ubah), dan unik distinctive (beda dari yang lain, autentik, murni, tak tergantikan).

Mengutip kalimat Seth Godin, penulis, pengusaha, pemasar dan pembicara publik sukses dari Amerika, “Be remarkable. Be consistent. Be authentic. Tell your story to people who are inclined to believe it.”

Kontroversi Kata Bijak Bob Sadino dan Steve Jobs

Amalia mencontohkan sejumlah kasus personal branding yang menarik, yang kebetulan disematkan pada tokoh terkenal. Bob Sadino misalnya, pengusaha sukses ini kerap melontarkan kata bijak yang kontroversial, seperti “IPK di atas 3 koma, alamat Anda jadi calon karyawan” atau “Kuliah itu kegiatan gobl*k, besok jangan masuk kuliah”.

Bob Sadino, sama seperti Steve Jobs, pendiri Apple, adalah tokoh dan sosok visioner yang kata-katanya merupakan inspirasi bagi banyak orang. Kedua tokoh (yang kini almarhum) adalah sosok yang unik dan beda dari lainnya, alias anti-mainstream.

Menurut Amalia, Bob Sadino dan Steve Jobs bukanlah orang biasa. Mereka adalah kelompok jenius. “Cara seorang jenius berkomunikasi memang tidak sama dengan orang lain,” ujarnya.

steve jobs

Kalimat Steve Jobs yang kontroversial adalah “We do no market research. With great products, business will follow”. Akan halnya Bob Sadino, tak kalah kontroversial, “tidak perlu sekolah untuk bisa sukses”.

Menanggapi kalimat kedua tokoh tersebut, Amalia menekankan pentingnya kita untuk ‘read between the lines’, memaknai dasar filosofis kalimat keduanya. “Untuk bisa menghayati makna percakapan mereka, kita perlu mengerti konteks pembahasannya secara luas dan holistik. Jangan berhenti di titik itu saja,” urainya.

Dari banyak membaca pidato Steve Jobs, Amalia sampai pada analisis “tidak riset” itu berarti: Jika ingin sukses dalam pengembangan produk baru, jangan melakukan riset-riset konvensional. Gunakan kreativitas dalam riset, think out of the box. Jangan mengerjakan riset dengan teknik yang itu-itu saja.

Pada kenyataannya, Apple memang sudah tidak mengerjakan lagi kegiatan riset konvensional melalui rangkaian survey. ”Yang dikerjakan Apple masuk ke dalam keseharian konsumen untuk mengerti mereka,” urai Amalia.

Bahwa Apple percaya riset, itu bisa dikonfirmasi dari pidato Jobs lainnya yang mengatakan “We’ve spoken to a lot of our customers and we think we’ve come up with something you’ll like”.

Berbicara dengan konsumen di Apple Store adalah murni kegiatan riset. Memang bukan melalui metode survey atau fokus group konvensional. Berada di alam konsumen berbicara dengan konsumennya juga merupakan riset pemasaran. “Hanya saja, ini menggunakan metode kontemporer, yaitu etnography,” ujar Amalia.

Akan halnya Bob Sadino, sejatinya ia ingin menjelaskan secara tak langsung bahwa sekolah hanyalah untuk orang-orang yang tahu bagaimana ‘sekolah’ yang benar. Tidak usah sekolah atau kuliah jika hanya membuang-buang waktu dan biaya. Karena kesuksesan hanya datang pada orang-orang yang mengerjakan segala sesuatunya dengan tekun, konsisten dan persisten.

Orang pintar adalah orang yang bergerak cepat memanfaatkan kesempatan. Seperti kata Om Bob, “Berhentilah membuat rencana. Bergeraklah”.

Brand Jokowi Memudar?

Yang menarik dari buku terbaru ini adalah, Amalia juga mengulas tentang personal branding Joko Widodo, alias Jokowi, yang kini menjadi Presiden Republik Indonesia. Tentu kita ingat dalam kasus KPK vs Kapolri yang sempat menulai polemik panjang di masyarakat. Bahkan, Amalia mengaku, banyak orang bertanya kepadanya apakah brand Jokowi mulai turun.

brand Jokowi

“Saya tidak bisa langsung mengadili seperti itu. Tetapi sebagai seorang etnographer saya telah mendapatkan tanda-tanda yang cukup bahwa brand Jokowi memudar. Kecemerlangannya meredup,” tulis Amalia.

Brand yang cemerlang, Amalia mengingatkan, adalah brand yang bisa menepati janjinya sendiri. “Mari kita wujudkan revolusi mental. Koalisi tanpa syarat. Kerja kerja kerja. Jokowi adalah kita”.

Amalia menilai, dari berbagai janji yang dikomunikasikan Jokowi saat kampanye, hal-hal di atas adalah janji-janji kunci, janji penting yang akan diingat oleh sebagian besar pendukungnya.

Lantas, apakah Jokowi bisa bertahan sebagai brand yang cemerlang? “Kekuatan brand Jokowi akan selalu mendapatkan ujian di berbagai titik berjalanan brand, alias brand journey,” ujar Amalia. Puas tidaknya konsumen akan terlihat pada saat moment of truth, momen dimana janji-janji secara nyata dikerjakan sesuai rencana dan harapan. Successful moment of truth terjadi manakala kinerja brand minimal sama dengan ekspektasi.

Banyak hal yang memang tak bisa dihindari dan tak terelakkan dalam politik, sehingga disebut uncontrollable factor (faktor yang tidak bisa dikontrol). Namun dalam banyak hal, masih ada sejumlah hal yang bisa dikontrol sehingga masuk ke dalam ranah controllable factor.

Pemilihan Jaksa Agung dan Kaplori adalah sebuah titik dalam brand journey Jokowi yang sebenarnya masuk dalam kategori bisa dikontrol.

Dan, pada saat sesuatu yang sangat nyata dipertontonkan oleh brand Jokowi yang bertentangan dengan janji inependensi, bisa dibayangkan kecewanya para stakeholder. “Bahwa Jokoi secara sadar masuk dalam polemik ini, sangat mengecewakan. Masih banyak pilihan calon Jaksa Agung dan calon Kapolri yang bisa diajukan oleh Jokowi,” ulas Amalia.

Amalia menilai, keberpihakan pada sebuah kepentinga telah meredupkan sinar brand Jokowi. Stakeholder terpenting dimulai dari para soulmate, ini adalah kelompok yang telah berinteraksi dan memiliki hubungan yang mendalam bahkan secara emosional merasa memiliki brand tersebut.

“Masih ada kesempatan berbenah, Pak Jokowi. Brand journey Bapak masih panjang untuk mengoreksi dan memberikan sinar kembali ke brand yang meredup ini. Soulmate itu memaafkan, Pak. Soulmate itu memberi kesempatan kedua,” tandas Amalia.

Well, last but not least, buku “Personal Branding: Membangun Citra Diri yang Cemerlang” ini layak dimiliki siapa saja. Dengan harga terjangkau Rp 75.000 per eksemplar, kita akan memetik pelajaran berharga, langsung dari ahlinya.

Well done, Ibu Amalia!