Hidupgaya.co – Aktris senior Christine Hakim berbagi wawasan penting terkait makna keluarga. Menurutnya, kelurga tidak semata dimaknai sebagai hubungan darah atau pasangan hidup, tapi juga mencakup relasi sosial yang dibangun atas dasar cinta, kepedulian, dan tanggung jawab kemanusiaan.

Menurut aktris peraih 11 Piala Citra dari Festival Film Indonesia (FFI), setiap individu yang berada dalam lingkaran kerja dan pengabdiannya sudah sepantasnya diperlakukan layaknya keluarga sendiri.

“Nilai kasih sayang, perhatian, dan keadilan tidak boleh dibedakan. Keluarga adalah fondasi awal dalam menanamkan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang kelak akan tercermin dalam kehidupan bermasyarakat,” ujar aktris yang didaulat sebagai ikon Prestasi Pancasila dalam acara yang dihelat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta, Jumat (19/12).

Lebih lanjut pelaku seni yang telah berkiprah di dunia perfilman Tanah Air selama puluhan tahun ini menyampaikan, setiap manusia memiliki proses dan tanggung jawab masing-masing.

Dia mencontohkan, peran sebagai ibu, misalnya bukan hanya soal membesarkan anak secara biologis, “tetapi juga membekalinya dengan nilai, kepekaan sosial, dan daya tahan moral untuk menghadapi tantangan zaman yang kian kompleks,” beber aktris yang terlihat cantik alami di usia 68 tahun.

Christine Hakim (dok. Instagram)

Mengingat situasi dunia saat ini tidak selalu bergerak ke arah yang lebih baik, menurut pandangan Christine tantangan utama manusia bukan hanyak menjadi baik, tetapi mampu bertahan agar tidak terjerumus dalam kehancuran nilai dan perpecahan sosial. “Di titik inilah, Pancasila dinilainya tetap relevan sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara. Karena Pancasila bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan agama,” ungkapnya.

Aktris yang terlibat dalam film ‘Pangku’ mengakui kiprahnya yang terentang dalam waktu lama di dunia seni peran turut membentuk kepekaan tersebut.

Christine beranggapan, proses riset mendalam, memahami karakter, hingga menghidupkan peran di depan kamera menjadi sarana untuk terus mengasah empati.

“Dari peran perempuan pejuang hingga karakter antagonis, saya belajar, musuh manusia tu bukan sesama, melainkan hilangnya kepekaan moral yang membuka ruang bagi perpecahan. Banyak sekali mayarakat indonesia yang masih mempunyai kepekaan yang sangat tinggi, tapi hati-hati iblis itu memecah belah, musuh kita adalah iblis manusi tapi iblis, setan, dan jin,” tandasnya.

Pentingnya penguatan strategis perempuan

Memperingati Hari Ibu Tahun 2025, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menggelar kegiatan lokakarya ‘Perempuan Menyapa, Perempuan Berdaya, Menuju Indonesia Emas 2045’ yang menjadi ruang refleksi sekaligus penguatan peran strategis perempuan dalam membangun tatanan sosial, pendidikan, dan peradaban bangsa yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.

Lokakarya diselenggarakan sebagai bagian dari komitmen BPIP dalam membumikan Pancasila secara kontekstual dan inklusif, khususnya melalui pemberdayaan perempuan sebagai pendidik, pemimpin komunitas, dan penggerak sosial di berbagai lapisan masyarakat.

Menurut Kepala BPIP, Prof. Yudian Wahyudi, Pancasila bukan sekadar teks atau simbol formal, melainkan fondasi moral, pemersatu bangsa, dan pedoman etis yang harus hidup dalam praktik sosial, pendidikan, serta kebijakan publik.

“Pancasila harus hadir dalam tindakan nyata. Pembinaan ideologi Pancasila perlu menyentuh ruangruang kehidupan masyarakat, bersifat kontekstual, inklusif, serta menghormati kearifan lokal yang selama ini menjadi perekat komunitas,” ujar Prof. Yudian.

Lokakarya bersama Ikon Prestasi Pancasila

Ia juga menekankan bahwa peringatan Hari Ibu harus menjadi awal dari langkah konkret yang berkelanjutan. “Dengan memperkuat kapasitas perempuan dan menghadirkan Pancasila dalam pendidikan serta kehidupan sosial, kita sedang menyiapkan fondasi kokoh bagi generasi yang berdaya dan beretika menuju Indonesia Emas 2045,” ulasnya.

Kesempatan sama, Wakil Kepala BPIP Rima Agristina menyampaikan bahwa perempuan memiliki posisi strategis dalam proses pembudayaan Pancasila karena kedekatannya dengan lingkungan keluarga, pendidikan, dan komunitas.

“Perempuan adalah agen perubahan nilai. Melalui peran sebagai pendidik, pengasuh, dan pemimpin komunitas, perempuan mampu menerjemahkan Pancasila ke dalam praktik sehari-hari yang konkret dan berdampak langsung bagi masyarakat,” pungkas Rima. (HG)