Hidupgaya.co – Sosoknya mungil namun mengesankan ketegasan dan keteguhan dalam bersikap dan bertindak. Menjadi satu-satunya perempuan dari empat bersaudara (ketiga kakaknya laki-laki) menjadikan Patriani Paramita Mulia, S.H., L.L.M, terbiasa dengan lingkungan pria yang identik dengan kehidupan keras tanpa kompromi.
Selain memiliki profesi mentereng, menjadi salah satu pendiri firma hukum Paramita Law & Litigation, bungsu dari empat bersaudara ini juga mengemban jabatan tak kalah elit: Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Pemuda Panca Marga (PPM), organisasi kemasyarakatan yang mewadahi anak-anak dan keturunan Veteran Republik Indonesia (LVRI).
Didirikan berdasarkan Kongres LVRI tahun 1978, PPM bertujuan untuk melestarikan nilai-nilai perjuangan ’45, menumbuhkan nasionalisme di kalangan generasi muda, dan meneruskan perjuangan para veteran dalam menjaga keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dengan kata lain, PPM didirikan sebagai ‘anak organisasi’ LVRI dan mendapatkan izin penggunaan nama Panca Marga sesuai dengan sumpah dan kode etik LVRI.
Melalui Munaslub PPM 2024, Paramita didaulat menjadi Ketua Umum PPM periode 2024 – 2029.
Pengangkatannya sebagai pucuk pimpinan tertinggi organisasi kemasyarakatan yang identik dengan dunia laki-laki sejatinya bukanlah hal yang mengejutkan. Mengingat sejak lahir, jebolan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta dengan predikat cumlaude, sudah jadi anggota PPM. Sang ayah, Yusuf Faisal, menjadi salah satu pendiri Pemuda Panca Marga dan Ketua Umum PPM kedua.

“Bisa dibilang, sejak bayi saya sudah kenal PPM karena Bapak menjadi salah satu pendiri dan pernah menjabat sebagai Ketua Umum PPM,” ujar Paramita, perempuan campuran Cina-Jiwa yang dalam darahnya mengalir deras ras Tapanuli-Sunda saat berbincang dengan Hidupaya di kantornya yang berlokasi di Gedung Setiabudi Jakarta, baru-baru ini.
Saking lekatnya dengan PPM, nama yang disandangnya merupakan singkatan dari organisasi itu. “Patriani Paramita Mulia itu kalau disingkat PPM. Saat itu, ketika ibu hamil saya, Bapak bilang apa pun jenis kelamin bayinya nanti, namanya kalau disingkat PPM,” kenang Paramita yang mengambil Magister Hukum di Fakultas Hukum Studi Hukum Internasional Universitas New York, Amerika Serikat (2011 – 2012).
Darah pergerakan dari keluarga
Paramita menambahkan, darah pergerakan dan aktivis yang mengalir dari kakek buyutnya merupakan modal dasar untuk memimpin PPM. Keluarganya amat kental dengan organisasi itu dan sejak kecil Paramita bersama para kakak telah ‘didoktrin’ mengenai PPM.
“Tak hanya doktrin, tapi juga aksi. Saat kecil saya terbiasa dibawa Bapak ikut musda (musyawarah daerah), meskipun saat itu belum paham artinya,” ujar penyuka aktivitas berburu menggantikan anggar yang harus dia relakan menyusul cedera pada lutut yang membuatnya tak bisa memainkan olahraga itu lagi.
Perempuan kelahiran Agustus 1986 itu telah menjadi pengurus PPM sejak usia terbilang muda. “Pesan Bapak agar saya meneruskan legacy keluarga. Its in the blood. Jadi saat amanat menjadi Ketua Umum PPM itu datang, saya menerimanya sebagai sebuah panggilan untuk mengabdi, memberikan kontribusi,” terang Paramita yang mengemban posisi Ketua Umum PPM di usia 38 tahun.
Menjadi pimpinan tertinggi di organisasi ini menurut Paramita menjadi hal alami, tidak menjadikannya sebagai beban. “Sejak kecil saya sudah dilibatkan dalam kegiatan PPM. Buat saya itu hal natural saja,” tuturnya.

Meskipun demikian, dia mengakui tak mudah menjadi perempuan yang terjun di dunia laki-laki, menjadi pengacara dan mengemban tugas di PPM. “Memang tak mudah, plus usia saya belum tua-tua banget. Harus membawahi sejumlah anggota yang usianya lebih tua, dan mereka itu laki-laki. Tapi saya pantang menyerah, jalani saja. Saya tidak suka menekankan dengan kata-kata, melainkan dengan pembuktian,” bebernya.
Tangguh bak mental kuda
Ahli hukum internasional ini mengakui memiliki mental kuda sehingga menjadikannya tangguh berkiprah di bidang yang ditekuni laki-laki.
“Menjadi Ketua Umum PPM itu ada tangan Tuhan bekerja. Yang paling mendorong saya justru Ibu. Selain itu, saya rada mental kuda karena dari kecil sudah laki-laki. Ibu saya selalu mendorong agar saya tak pantang menyerah, dan itu kena banget buat saya. Jadi saat saya duduk bersama laki laki ya biasa-biasa saja. Nggak merasa gimana-gimana gitu,” terang Paramita mengungkap mentalnya yang telah tertempa menjadi tangguh, kuat terhadap tekanan dan intimidasi.
Dia mengakui, aktif di PPM tak memberinya keuntungan finansial, melainkan kepuasan batin. “Ada kepuasan di situ. Apa yang saya dapat tidak selalu bombastis. Politik internal organisasi menjadi sarana belajar buat saya, itu tidak masalah. Itu kembali lagi ke diri kita bagaimana menyikapinya,” urai Paramita yang lebih suka menjadi kuda hitam daripada unggulan. “Mau remehkan saya silakan. Tunggu saja pembuktiannya.”
Mengubah hambatan menjadi keuntungan
Menjadi perempuan di lingkup bidang yang dikuasai pria, menurut Paramita, bisa dipandang menjadi hambatan atau keuntungan, tergantung bagaimana menyikapinya.
“Saya tak pernah melihat dilahirkan sebagai sosok perempuan sebagai hambatan. Justru saya melihatnya sebagai keuntungan, misalnya sebagai perempuan saya tak malu minta pendapat atau bantuan dari senior. Saya bisa datang ke mereka untuk minta masukan. Sebagai Ketua Umum PPM buat saya tak menjadi kendala minta masukan dari orang lain,” tegas perempuan yang pernah bekerja di kantor pengacara O.C. Kaligis & Associates sebelum membuka kantor hukum sendiri.
Sebagai Ketua Umum PPM, Paramita memiliki sejumlah tujuan yang hendak dicapai. “Anggota PPM saat ini sekitar 1 juta orang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, itu anak cucu veteran. Sejak lahir, mereka punya hak menjadi anggota. Apakah akan aktif atau nggak itu pilihan,” bebernya.
Dalam lima tahun kepemimpinan, Paramita ingin melakukan kegiatan lebih konkret, menyentuh banyak kalangan masyarakat luas. Di tangannya, dia berharap PPM bukan sekadar menerapkan sistem Hamkamrata (Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta), sistem pertahanan negara Indonesia yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya lainnya.

“Saya ingin melakukan kegiatan yang lebih menyentuh akar masalah di masyarakat, misalnya rumah tinggal layak huni bagi veteran, serta beasiswa pendidikan bagi anak-anak veteran, bikin pelatihan dan bursa kerja. Itu relevan dengan kebutuhan masyarakat dewasa ini. Rencananya mau bikin job fair dalam waktu dekat, kerja sama dengan perusahaan-perusahaan,” cetusnya.
Paramita menekankan pentingnya pendidikan untuk mencetak generasi bersinar di masa depan. “Pendidikan akan menjadi akar untuk mendapatkan kesempatan. Orang dengan kapasitas intelektual tidak gampang diprovokasi,” ujar perempuan yang pernah terlibat dalam Divisi Pemantauan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Layanan Internasional untuk Hak Asasi Manusia, Jenewa – Swiss (Januari – September 2009).
Menjadi pemimpin perempuan, Paramita mengaku menjadikan kakek dan ayah sebagai contoh terdekat, juga para tokoh yang menjadi klien di kantor hukumya. “Menjadi lawyer, saya banyak dipertemukan dengan tokoh nasional. Mereka banyak memberikan nasihat dan dorongan. Klien itu kebanyakan telah malang melintang di dunia bisnis dan politik. Dari mereka saya banyak belajar,” urainya.
Pentingnya mengubah mindset
Penyuka olahraga ekstrem seperti ski dan terjun payung ini memiliki saran menarik bagi para perempuan berdasar pengalaman pribadi. “Yang membuat perempuan sulit berkembang itu mindset (pola pikir). Ada yang bilang semua tergantung mindset. Banyak perempuan merasa kecil sehingga tak berani bersuara. Saat kunjungan ke Kendal (Jawa Tengah), ke pesantren, saya ngomong ke santri wanita. Janganlah karena menjadi wanita lantas merasa tidak berdaya. Ini pentingnya mengubah mindset, karena keberanian akan muncul dari situ,” cetusnya.
Dengan serius Paramita menolak mindset ‘istri boleh diapain saja, kalau agak keluar batas masih dianggap wajar’. “Itu pola pikir salah. Perempuan harus punya suara. Kalau ada KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), laporkan. Sayangnya banyak istri tidak melakukan itu karena malu,” ujarnya.
Keseimbangan hidup
Bekerja sebagai pengacara, memiliki kantor hukum sendiri, dan sebagai Ketua Umum PPM, membuat Paramita sebagai sosok sibuk. Di sela kesibukan itu, dia masih meluangkan waktu untuk olahraga dengan bantuan pelatih kebugaran. “Kardio, angkat beban seminggu tiga kali. Sesekali main golf dan ikut berburu,” tuturnya.

Memiliki kecintaan terhadap kegiatan luar ruang memiliki konsekuensi tersendiri dalam penampilan Paramita. “Kulit agak rusak, kusam, tapi itu bagian dari konsekuensi aktivitas outdoor yang saya tekuni. Saya suka merawat diri di klinik kecantikan namun untuk hal alami saja, bukan operasi plastik. Saya lebih suka tampil apa adanya,” ujarnya kalem.
Soal sepatu, tas dan pakaian, Paramita tak termasuk penyuka barang bermerek premium. Dia menolak menyebutkan barang bermerek mahal yang dimilikinya. “Yang nyaman saja. Saya suka baju batik atau baju daerah, yang kerap saya pakai saat kunjungan ke daerah,” ujar penyuka baking di waktu luang.
Paramita mengakui, di usia 39 tahun ini, dia telah membukukan sejumlah pencapaian, termasuk belajar dari kesalahan. Dalam menjalani karier dan tanggung jawab yang diembannya, perempuan yang masih betah melajang ini lebih mementingkan integritas jangka panjang, alih-alih one hit wonder.
“Saya pilih punya integritas. Melakukan yang terbaik, memberikan harapan. Orang Indonesia itu kemampuan bertahan hidupnya baik, namun masih kurang tantangan untuk menjadi excellent. Dalam hidup kita harus ada harapan, punya target, tidak hanya berpegang pada kalimat yang penting cukup. Itu menjadikan kita sebagai pribadi luar biasa,” pungkasnya. (HG)