Hidupgaya.co – Banyak pengusaha perempuan skala mikro dan kecil mengalami sejumlah ‘kesalahan’ dalam mengelola keuangan sehingga bisnis mereka kurang berkembang atau jalan di tempat. Hal itu terjadi karena literasi keuangan masih minim dan pengetahuan pengelolaan keuangan belum memadai.
“Kami melihat dari banyak perempuan yang memiliki/mengelola usaha mikro dan kecil, mayoritas belum memiliki literasi keuangan dan akses produk dan layanan keuangan yang memadai,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Mercy Corps Indonesia Ade Soekadis dalam temu media yang dihelat Bank DBS Indonesia menandai kolaborasi dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan pelaku usaha mikro di Jakarta, Rabu (15/10).
Padahal, literasi keuangan yang baik dapat membantu mereka mengambil keputusan bijak, mengurangi risiko, dan meningkatkan kesehatan dan ketahanan keuangan mereka
“Banyak pengusaha perempuan skala mikro yang masih mencampur antara kas keuangan keluarga dan bisnis, serta menggunakan dana tidak sesuai peruntukan, misalnya pinjaman online atau paylater tanpa tujuan jelas yang membuat bisnis sulit berkembang,” imbuh Ade.

Dalam dua dekade terakhir, perempuan Indonesia mencatat kemajuan signifikan di ranah publik dan sektor strategis, terutama melalui UMKM.
Menurut data Kementerian UMKM, jumlah UMKM di Indonesia pada 2024 mencapai lebih dari 66 juta unit dan berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61 persen atau senilai Rp9.580 triliun.
Sekitar 99 persen dari total UMKM tersebut merupakan kategori usaha mikro dan 64 persen pelaku usaha dimiliki atau dikelola perempuan.
Meskipun berperan penting dalam menggerakkan perekonomian nasional, Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 mencatat tingkat literasi dan inklusi keuangan perempuan masing-masing sebesar 65,58 dan 65,73 persen, sedangkan laki-laki masing-masing sebesar 67,32 dan 67,53 persen.
Hal ini menegaskan perlunya penguatan literasi dan akses keuangan bagi perempuan agar lebih cermat dalam pengelolaan keuangan dan dalam mengakses produk dan layanan keuangan.
Menjawab tantangan ini, Bank DBS Indonesia bersama DBS Foundation kembali memperkuat komitmen dalam mendorong pertumbuhan inklusif dengan menggandeng dua mitra baru, Yayasan Mercy Corps Indonesia (Mercy Corps Indonesia) dan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia).
Menurut Head of Group Strategic Marketing & Communications PT Bank DBS Indonesia Mona Monika, kerja sama ini dirancang untuk meningkatkan akses perempuan pelaku usaha mikro dan kecil terhadap literasi dan layanan keuangan, manajemen bisnis dan pemasaran digital.
“Kerja sama ini sekaligus membekali kaum muda, terutama perempuan dan penyandang disabilitas, dengan keterampilan dan kesiapan kerja di industri yang sedang berkembang, informasi peluang kerja serta kemampuan perencanaan keuangan agar lebih siap menghadapi tantangan ekonomi,” ujar Mona.
Mona mengungkap, DBS Foundation hadir dengan visi untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat rentan, termasuk kaum muda dan perempuan yang memiliki keterbatasan akses. “Dengan dana hibah Rp48 miliar yang dikucurkan untuk program ini, kami percaya dapat menjangkau masyarakat secara lebih luas,” tuturnya.
Inisiatif ini menjadi bagian dari komitmen jangka panjang DBS Foundation sejak 2023 untuk memberi dukungan pendanaan hingga SGD1 miliar selama 10 tahun ke depan di Asia untuk fokus mendorong inklusi dan menyediakan kebutuhan dasar melalui berbagai program yang menjawab tantangan nyata di masyarakat.
Selain memberikan bantuan pendanaan, sebut Mona, pihaknya juga memastikan seluruh program kemitraan ini dapat menciptakan dampak jangka panjang bagi seluruh penerima manfaat dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi inklusif yang berkelanjutan.
Pentingnya dukungan literasi dan inklusi keuangan
Literasi dan inklusi keuangan perempuan yang bergerak di usaha mikro dinilai penting, pasalnya menurut data Yayasan Mercy Corps Indonesia tahun 2022 menunjukkan hanya 51 persen perempuan pengusaha mikro dan kecil di perkotaan yang memiliki rekening aktif dan digunakan dalam 6 bulan terakhir karena literasi dan akses ke layanan keuangan yang terbatas.
“Minimnya kepemilikan aset, keterbatasan informasi, dan kurangnya pemahaman risiko membuat mereka sulit mengakses lembaga keuangan formal, terutama di era layanan berbasis digital,” beber Ade.
Hal itu cukup meresahkan mengingat 98 persen dari pelaku usaha mikro itu sudah memiliki ponsel pintar dan akses internet, hanya saja belum dimanfaatkan maksimal untuk mengembangkan bisnis, misalnya menggunakan aplikasi mobile banking (31 persen), dompet digital (30 persen), dan marketplace (32 persen).
Berangkat dari hal tersebut, DBS Foundation bekerja sama dengan Yayasan Mercy Corps Indonesia bermaksud meningkatkan kesehatan dan ketahanan keuangan perempuan pemilik/pengelola usaha mikro dan kecil melalui program Financial Inclusion for Women Entrepreneurs selama dua tahun.
Program ini menyasar 40.000 perempuan dan anak muda pemilik/pengelola usaha mikro dan kecil di Semarang, Surabaya, dan Medan dengan pelatihan dan pendampingan literasi digital, manajemen keuangan, akses produk dan layanan keuangan dari lembaga jasa keuangan formal, dan pemasaran digital.
Akses pelatihan untuk anak muda dan penyandang disabilitas
Sementara itu bersama Plan Indonesia, melalui program You Rise (Youth be Ready, Inclusive, Skilled, Empowered), DBS Foundation bermaksud membuka akses pelatihan bagi 100.000 kaum muda usia 18-29 tahun, termasuk 60 persen perempuan dan 3 persen penyandang disabilitas.
Program itu akan diselenggarakan selama dua tahun di Jakarta, Medan, dan Surabaya. You Rise akan mengombinasikan pengembangan keterampilan, literasi keuangan, dan akses kerja agar peserta lebih siap memasuki pasar kerja serta membangun kesehatan finansial yang lebih stabil.
“Kaum muda memegang peran penting sebagai agen perubahan sekaligus cerminan masa depan bangsa. Oleh karena itu, dukungan terhadap mereka adalah investasi bagi kemajuan bersama,” ujar Direktur Eksekutif Plan Indonesia Dini Widiastuti, kesempatan sama.

Dini menyampaikan pentingnya pertumbuhan inklusif menyasar kelompok muda yang masih menghadapi tantangan dalam mengakses pekerjaan. Pasalnya, data BPS tahun 2024 menyebut sekitar 20 persen dari total penduduk muda berusia 15-24 tahun atau sekitar 9 juta orang berstatus NEET (Not in Education, Employment, or Training/tidak bersekolah, tidak bekerja, dan tidak mengikuti pelatihan).
Selain itu, masih terdapat kesenjangan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan (55 persen) dibandingkan laki-laki (84 persen). Pengangguran penyandang disabilitas juga mayoritas kaum muda berusia 15-34 tahun, menurut data ILO, 2022.
Kondisi ini menegaskan masih perlu lebih banyak lagi dukungan untuk peningkatan keterampilan dan peluang kerja bagi kaum muda, terutama perempuan dan penyandang disabilitas, demi memastikan pertumbuhan yang inklusif.
Dini menekankan bahwa tantangan ketenagakerjaan dan keterbatasan akses kerja tidak seharusnya menjadi penghalang, melainkan pemicu untuk bergerak mencari solusi. “Melalui program literasi finansial dan peningkatan keterampilan kerja bersama DBS Foundation, kami berkomitmen membantu mereka lebih siap bersaing,” tandasnya. (HG)