Hidupgaya.co – Isu keberlanjutan menjadi topik menarik yang kerap digaungkan di berbagai bidang, termasuk sektor furnitur. Topik keberlanjutan ini mengemuka di Design Talks IFFINA+ 2025, melibatkan pembicara dari American Hardwood Export Council (AHEC) dan desainer asal Indonesia, Hendro Hadinata, serta Dennis Pluemer, pendiri Santai Furniture berbasis di Yogyakarta yang konsisten dengan praktik furnitur berkelanjutan.
Dalam diskusi itu, Regional Director of AHEC South East Asia and Greater China, John Chan, menyampaikan, sebagai organisasi global yang mendorong praktik desain berkelanjutan, AHEC tidak hanya fokus pada promosi kayu Amerika dari sisi estetika dan fungsional, tetapi juga pada riset ilmiah terkait dampak lingkungan.
“Salah satu kontribusi penting AHEC adalah penerapan Life Cycle Assessment (LCA) untuk mengukur jejak karbon furnitur berbasis American Hardwood secara menyeluruh, mulai dari panen, pengolahan, hingga distribusi,” ujarnya dalam temu media di IFFINA+ 2025 di ICE BSD, Tangerang, Banten, Kamis (18/9).
Sebagai organisasi global lebih dari 25 tahun mempromosikan kayu Amerika ke seluruh dunia, tahun ini AHEC menyoroti kolaborasi perdana dengan pendiri Studio Hendro Hadinata, melalui proyek eksperimental bertajuk Karana.
Alasan memiliki Hendro Hadinata dalam kolaborasi ini, perwakilan AHEC, Vivian Tam menyebut nama Hendro cukup dikenal kerap melakukan eksibisi di luar negeri dan memiliki pengalaman kuat di bidang sculpture. “Dia punya skill unik menggabungkan raw material apapun dengan kesan Indonesia yang kuat. Ini kali pertama kolaborasi menggunakan raw material AHEC yang dibuat dalam karya dengan sentuhan Indonesia,” jelasnya menjawab pertanyaan Hidupgaya.

Karana menandai tonggak baru dalam praktik desain furnitur berkelanjutan di Indonesia. Hendro, yang dikenal dengan pendekatan desain berbasis narasi budaya, untuk pertama kalinya mengeksplorasi potensi American Hardwood, terutama spesies red oak, dan cherry, yang selama ini kurang dimanfaatkan di Asia Tenggara.
Selain itu, Karana juga menegaskan keunggulan American Hardwood dari sisi lingkungan melalui jejak karbon yang rendah. Kayu ini secara alami menyerap dan menyimpan karbon selama pertumbuhannya, sehingga ketika dipanen dan diproduksi menjadi furnitur, ia tetap berfungsi sebagai penyimpan karbon.
Data Life Cycle Assessment menunjukkan bahwa volume American Hardwood yang dipanen dapat tergantikan hanya dalam hitungan detik oleh pertumbuhan hutan di Amerika Serikat, menjadikannya material yang tidak hanya terbarukan tetapi juga berkontribusi positif dalam mengurangi emisi karbon.
Terkait kolaborasi ini, Hendro mengaku antusias. “Koleksi ini terinspirasi filosofi Bali, Tri Hita Karana, terdiri dari tiga karya utama yaitu, Kuta Bench, Sanur Lounge Chair, dan Ubud Light,” ujarnya seraya menambahkan Tri Hita Karana mengusung harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas.

Dalam Karana, Hendro juga menyertakan inspirasi pematung Ida Bagus Nyana pada era 1930-an, dengan menggabungkan bentuk mengalir yang memanjang dan fungsi kontemporer sehingga menghasilkan desain berakar budaya lokal namun tetap relevan secara global.
“Saat diajak kolaborasi ini, meskipun ini materi kayu Amerika, saya tetap masukkan soul Indonesia di dalamnya. Saya terinspirasi pematung asal Bali, Ida Bagus Nyana, seorang maestro scuplture Indonesia. Terus terang saya terkesima pada tahun 1930-an ada maestro Indonesia bisa bikin karya semonumental itu, berani keluar dari pakem. Ide itu mengendap dan saya simpan. Saat ada kesempatan, maka saya wujudkan di Karana,” tutur Hendro.
Diajak kerja sama dengan AHEC memunculkan pengalaman berbeda bagi Hendro. “Setiap projek buat saya jadi pembelajaran, bisa digging lebih dalam. Proyek ini menarik karena kayu AHEC biasanya jadi material pameran sejumlah brand besar di Paris dan Milan. Nah sekarang kesempatan ada di tangan. Ini excited banget. Konsep yang sudah saya simpan sejak lima tahun lalu soal maestro patung Ida Bagus Nyata bisa saya wujudkan. Jadi waktu mendesain sudah tahu akan seperti apa,” beber pendiri Hendro Hadinata Studio.
Dalam kolaborasi Karana, Hendro juga belajar bagaimana American Hardwood bukan sekadar menjual kayu, namun juga menjaga hutan mereka. “Kayunya hanya bisa di-harvest (dipanen) setelah 80 tahun ke atas. Ini bikin desainer bahagia karena kayu dalam posisi mature untuk diolah. Ini yang menjadikannya menarik, selain bisa merayakan karya maestro dari Indonesia dengan perspekif berbeda,” urainya.

Karana, tak dimungkiri, menjadi bukti bahwa kolaborasi global dapat memperkaya narasi lokal, sekaligus memperkuat posisi desain Indonesia di kancah internasional.
Pertama kali menggunakan American Hardwood, Hendro mengakui material ini tidak hanya kuat tapi juga mudah dalam finishing. “Kayu yang saya gunakan menawarkan variasi serat dan warna yang kaya sehingga memberi fleksibilitas kreatif,” terangnya.
Untuk projek Karana, Hendro menggunakan kayu American red oak, yang dikenal akan kekuatan, ketahanan, dan pola serat terbuka dengan rona merah muda hangat, serta American cherry dengan tekstur halus dan warna coklat kemerahan yang semakin dalam seiring waktu. “Ini memungkinkan penciptaan lengkung skulptural ekspresif tanpa kehilangan karakter alami kayu,” tuturnya.
Melalui Karana, Hendro menunjukkan bahwa material internasional yang berkelanjutan dapat bersinergi dengan filosofi desain lokal, menciptakan karya yang tidak hanya estetis tetapi juga bertanggung jawab secara lingkungan.
Dalam proses produksinya Hendro berkolaborasi dengan manufaktur lokal Omega Mas yang menghadirkan presisi dan pengalaman tinggi untuk mewujudkan garis mengalir pada Kuta Bench dan Sanur Lounge Chair maupun bentuk ramping organik Ubud Light, membuktikan perpaduan material
berkelanjutan dan keahlian perajin mampu menghadirkan furnitur yang estetis, fungsional, dan penuh makna budaya.
Terkait produk keberlanjutan yang dinilai mahal, Hendro mendorong konsumen untuk mulai membangun perspektif bernilai lebih. “Lebih baik membeli produk furnitur sedikit mahal namun bisa bertahan puluhan tahun dibandingkan produk harga murah yang tidak tahan lama. Jadi kalau belum mampu sekarang, ya harus menabung dulu,” ujarnya.
Material bertanggung jawab untuk pasar global
Kesempatan sama, Dennis Pluemer, pendiri Santai Furniture dan Pring, menuturkan pentingnya menggunakan material bertanggung jawab (berkelanjutan) untuk pasar global. Pria asal Jerman yang telah tinggal di Yogyakarta selama 12 tahun ini konsisten mengangkat kekayaan budaya lokal, dalam hal ini Yogyakarta dan Surakarta.
Dennis menekankan pentingnya pemilihan material yang bertanggung jawab sebagai bagian dari strategi keberlanjutan jangka panjang jenama furnitur.
Menurutnya, konsumen kini semakin peduli pada dampak lingkungan. “Material seperti American Hardwood, yang berasal dari hutan dikelola berkelanjutan dan tumbuh lebih cepat daripada ditebang, memberi opsi penting untuk menjawab permintaan furnitur ramah lingkungan di pasar lokal maupun global,” terangnya.

Pria yang fasih berbahasa Indonesia ini mengatakan, dalam setiap karya, Santai Furniture selalu memasukkan elemen sustanainability. “Tujuannya revitalisasi elemen budaya melalui sosial, ekonomi dan lingkungan. Dari sisi ekonomi, kita kasih pendapatan tambahan ke perajin di sekitar,” ujarnya.
Dalam menciptakan furnitur, sebut Dennis, Santai tidak lebay dengan elemen solid. “Kami memilih kayu yang memiliki sertifikasi dan jelas sumbernya,” bebernya.
Sementara untuk merek Pring (bahasa Jawa untuk bambu), di workshopnya Dennis menggunakan bambu usia 5 tahun. “Alasan pakai bambu karena tumbuh lebih cepat, bisa finishing seperti kayu solid, dan ramah lingkungan,” ujarnya.
Dalam memproduksi furnitur, baik Santau maupun Pring konsisten menggunakan bahan baku sebanyak mungkin dari daerah, kecuali memang harus impor. “Bisa juga pakai produk lama tapi ada inovasi, jadi tidak banyak menghasilkan limbah. Intinya, apa yang kita develop punya dampak baik bagi lingkungan sekitar,” tandasnya.
Last but not least, ada pesan kuat yang bisa kita petik dari kolaborasi ini: Kehadiran Karana menjadi simbol dari arah baru industri furnitur Indonesia bahwa kreativitas, keberlanjutan, dan narasi budaya dapat berjalan beriringan.
Melalui projek semacam ini, diharapkan generasi baru desainer Indonesia akan semakin berani mengeksplorasi material global tanpa kehilangan jati diri lokal, sekaligus menegaskan posisi Indonesia sebagai pemain penting di panggung furnitur internasional. (HG)