Hidupgaya.co – Gen Z kerap mengistilahkan masa sulit dewasa ini dengan istilah in this economy. Saat daya beli melambat dan banyak orang mengencangkan ikat pinggang, perekonomian memang lesu darah.

Riset terbaru OCBC Financial Fitness Index (FFI) 2025 yang dijalankan NielsenIQ menunjukkan adanya penurunan skor untuk pertama kalinya sejak empat tahun lalu.

Riset itu dijalankan di lima kota besar Indonesia, melibatkan 1.337 reaponden usia 25-35 dengan minimun penghasilan Rp5 jjuta per bulan.

Inggit Primadevi, Director Strategic Analytics & Insights NielsenIQ (NIQ) Indonesia menyampaikan, skor FFI 2025 tercatat di angka 40,60, menurun tipis dari 41,25 pada 2024. Turunnya skor dipicu oleh beberapa faktor seperti: 89% responden yang menabung secara rutin (turun dari 92%).

FFI 2025 juga mencatat bahwa kemampuan mengelola utang tanpa jaminan dengan baik juga mengalami penurunan dari skor 97.28 ke 93.97 dibandingkan tahun sebelumnya.

“Yang paling mengkhawatirkan, hanya 19% masyarakat yang menyatakan siap dengan dana darurat jika kehilangan pekerjaan, turun dari 25% tahun lalu,” ujar Inggit di acara Nyala Festival OCBC yang dihelat di Jakarta, baru-baru ini.

Sementara itu, di sisi demografi, kelompok berpenghasilan di atas Rp40 juta justru mencatat peningkatan skor ke 59,95, naik dari 58,72 tahun lalu, ini menunjukkan resiliensi di kelompok itu.

Namun, kelompok middle income (Rp8-15 juta) mengalami penurunan ke 44,15, dan kelompok Rp5-8 juta turun ke 36,76. Tekanan juga paling terasa di usia 25–29 tahun baik yang belum ataupun sudah menikah, dengan skor 39,00, turun dari 40,27.

Lebih lanjut, FFI 2025 juga mencatat sejumlah sinyal positif di antaranya jumlah yang belum mencatat keuangan turun dari 81% ke 77%. Sementara itu kepemilikan dana pensiun meningkat dari 25% ke 29%, menunjukkan kesadaran jangka panjang mulai tumbuh, terutama pada generasi sandwich yang ingin memastikan masa depan keluarga tetap aman.

Inggit menambahkan ada sinyal positif terhadap kepemilikan investasi kompleks seperti reksa dana, saham, hingga crypto juga naik dua kali lipat dari 2% ke 4%, terutama pada mereka yang sudah lebih paham soal manajemen risiko. “Peningkatan kepemilikan emas batangan dari 2% ke 6%, meski pemahaman tentang instrumen ini masih perlu ditingkatkan,” ujarnya.

Disinyalir, kebanyakan orang beli emas masih karena FOMO (fear of missing out) atau ikut-ikutan tren saat harga logam mulia menunjukkan tren naik.

Hal positif lain yang perlu dicatat dari hasil FFI 2025 adalah dari sisi gaya hidup, perilaku konsumtif masyarakat justru mulai terkendali. Mereka yang mengaku sering menghabiskan uang demi mengikuti gaya hidup teman turun dari 80% ke 76%. “Artinya, meskipun angkanya masih tinggi, mereka sudah mulai sadar bahwa kesenangan bisa dicapai tanpa harus mengorbankan stabilitas finansial,” beber Inggit.

Namun, pola pikir materialistik juga menguat di mana 40% responden menggambarkan ‘kesejahteraan’ sebagai memiliki rumah mewah (naik dari 33%), dan 26% mengasosiasikannya dengan mobil mewah (naik dari 22%).

Menanggapi tren ini, Jeannette Erena Kristy Tampi, Marketing Communication Division Head OCBC mengatakan, penurunan skor FFI menjadi wake-up call bahwa di situasi ekonomi seperti apapun, masyarakat perlu mempertahankan kebiasaan finansial mereka yang baik seperti melakukan belanja bijak dan menabung di kehidupan sehari-hari.

“Dengan literasi keuangan yang tepat dan disiplin sederhana seperti menabung rutin dan mencatat pengeluaran, menyiapkan dana darurat, bijak kelola utang, dan melihat peluang investasi. Inilah kunci untuk benar-benar win this economy,” ujarnya di acara Nyala Festival OCBC yang dihelat di Jakarta, baru-baru ini.

Jeannette menekankan, in this economy memang sesuatu dan menantang. “Saat situasi tidak menentu yang harus dipikirkan itu dana darurat. Harus kembalikan mindset bahwa dana darurat itu penting,” ujarnya.

Dia mengungkap, saat pandemi Covid lalu, dana darurat masyarakat justru naik, namun saat situasi normal kembali menurun. “Dananya dipakai buat liburan,” ujar Jeannette.

Agar bisa membalik situasi menjadi win this economy dia menyarankan setiap orang melakukan cek keuangan pribadi. “Di OCBC Financial Mobile ada fitur ini. Hanya butuh 2-3 menit akan muncul assesment. Dari situ akan keluar hasil area mana yang perlu diperbaiki, ada rekomendasi langkah yang perlu dilakukan. Fitur ini terbuka buat siapa saja, bukan nasabah OCBC juga bisa menggunakannya,” tandas Jeannette.

Pemengaruh media sosial Gen Z, Lutfi Afansyah Wijaya, mengakui generasinya agak kaget dengan pengelolaan keuangan. “Sebagian Gen Z udah masuk ke working force. Ada yang sedikit shock uangnya sekarang banyak, namun gak diselaraskan dengan financial literacy. Jadi ada sejumlah orang yang pakai uang semaunya, YOLO (you only live once) gitu, karena hidup hanya sekali,” ujarnya.

Lutfi mengakui banyak Gen Z yang tidak mencatat pengeluaran. “Jujur ini sebuah concern. Di generasi aku masih banyak yang belum sadar literasi keuangan. Ini collective awakenings sih,” bebernya.

Menanggapi hal itu, Jeannette menekankan pentingnya kebiasaan smart spending dan menabung diajarkan kepada anak-anak sedini mungkin. “Misalnya orang tua membiasakan anak menabung dan mengelola keuangan secara bijak dengan fitur yang mudah dipakai, edukasi finansial yang ringan, dan ekosistem yang mendorong kebiasaan baik sejak dini,” tuturnya.

Selanjutnya, anak muda yang sudah memiliki kebiasaan finansial dasar yang baik, harus terus mencari cara untuk lebih sehat finansial menyongsong masa depan. (HG)