Hidupgaya.co – Masih ada stigma negatif pada penyandang autisme sehingga tak sedikit orang tua yang merasa malu sehingga lebih memilih membiarkan anak dengan kondisi ini diam di rumah, alih-alih belajar di sekolah. Kalau pun bersekolah – karena keterbatasan pengetahuan – orang tua menyekolahkan anak dengan autisme di sekolah umum, yang membuat anak sulit mengikuti pelajaran.

Adanya stigma juga membatasi kesempatan penyandang autisme mendapatkan pekerjaan. Stigma dapat membuat pemberi kerja enggan merekrut orang dengan autisme, karena mereka dianggap tidak mampu bekerja secara mandiri atau berinteraksi dengan rekan kerja. 

Selain itu, stigma dapat membuat penyandang autisme tidak diterima atau diperlakukan berbeda, yang kian menyulitkan mereka dalam membina hubungan sosial.

Menurut Ketua Yayasan Autisma Indonesia (YAI), Adriana S. Ginanjar, penyandang autisme memiliki potensi luar biasa dan cara berpikir yang unik. “Sayangnya, mereka masih menghadapi berbagai tantangan untuk bisa terlibat secara aktif dalam masyarakat, termasuk di dunia kerja,” ujarnya dalam sambutan acara diskusi bersama ASEAN Autism Network bertema ‘Autisme Bukanlah Hambatan: Dukungan dan Inovasi dalam Menciptakan Peluang Kerja’ yang
digelar di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Kamis (22/5/2025).

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan satu dari 100 anak di dunia mengalami autisme.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan memperkirakan ada 2,4 juta penyandang autisme, dengan sekitar 500.000 anak terdiagnosis setiap tahunnya.

Veronica Tan (kedua kanan) didampingi pianis Ananda Sukarlan (paling kanan) bersama penyandang autisme di acara ASEAN Autism Network bertema ‘Autisme Bukanlah Hambatan: Dukungan dan Inovasi dalam Menciptakan Peluang Kerja’ yang digelar di Sekretariat ASEAN, Jakarta (dok. Hidupgaya.co)

Sayangnya, praktik inklusi belum tersebar
merata, padahal Pasal 53 UU Penyandang Disabilitas mewajibkan sektor publik dan swasta mempekerjakan penyandang disabilitas.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, Yayasan Autisma Indonesia secara resmi meluncurkan konsep baru bertajuk Circle 4 Autism. Di acara itu juga diperkenalkan identitas visual baru YAI, dengan warna tosca dan biru pada logo Circle 4 Autism yang mencerminkan ketenangan, kepercayaan diri, dan harapan.

Adriana mengatakan, konsep ini menekankan pentingnya perluasan jaringan dan kolaborasi lintas sektor demi mendukung individu penyandang autisme secara menyeluruh, mencakup pendidikan, kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, hingga pendampingan masa depan.

“Transformasi ini diharapkan menjadi gerakan nasional yang mendorong pemahaman lebih mendalam mengenai pemberdayaan
penyandang autisme di Indonesia,” terang Adriana yang berprofesi sebagai psikolog.

Kesenjangan kemampuan dan kebutuhan dunia kerja

Kesempatan sama, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI, Veronica Tan mengakui masih ada kesenjangan antara kemampuan penyandang autisme  dengan kebutuhan dunia kerja.

“Ini adalah peluang besar untuk memperkuat sinergi lintas sektor. Bersama YAI dan ASEAN Autism Network, kami ingin menyusun roadmap yang lebih inklusif dan berbasis data, sehingga pemerintah bisa lebih tajam untuk memetakan permasalahan dan kebutuhan, serta bisa menyediakan platform yang tepat dan sesuai sasaran,” ujar Veronica dalam sambutannya.

Dia menambahkan, stigma yang masih melekat di tengah masyarakat terkait autisme kemungkinan terjadi akibat kurangnya
pemahaman mengenai gejala dan potensi keunggulan penyandangnya.

Padahal penyandang autisme merupakan individu yang memiliki ketelitian luar biasa, fokus mendalam, dan cara berpikir yang unik, serta perspektif yang segar dalam menanggapi sesuatu.

Kemampuan-kemampuan ini bisa menjadi
aset berharga di dalam dunia kerja, sehingga sangat penting untuk membangun pandangan
untuk berfokus pada kekuatan dan bukan kekurangannya.

Implementasi inklusivitas pada dunia
kerja juga harus memastikan kesiapan lingkungan kerja untuk bisa memberikan respons yang tepat, sehingga iklim kerja kondusif selalu terjaga.

Autisme bukanlah hambatan, dukung keberagaman di tempat kerja

Sekjen YAI, Prita Kemal Gani, menyampaikan selama ini autisme dianggap sebagai  hambatan sehingga penyandangnya sulit mendapatkan peluang kerja. “Padahal, justru penyandang autisme ini menawarkan potensi luar biasa yang mendukung keberagaman di tempat kerja,” bebernya.

Prita mengatakan, penyandang autisme sangat rigid dengan pekerjaannya, lebih fokus, jauh lebih detail karena diulang berkali-kali. “Mereka juga tidak suka bergosip, atau terlibat dalam office politic, tidak berkhianat karena hal itu tidak terpikirkan oleh penyandang autisme,” bebernya.

Poin lainnya adalah, penyandang autisme memiliki endurance luar biasa. “Anak saya bisa melukis hanya dalam 6 jam, sementara orang lain baru bisa selesai dalam dua minggu. Itu karena anak-anak autis memiliki endurance melebihi orang tanpa kondisi itu,” Prita menjabarkan.

Namun demikian, penyandang autisme diakui kesulitan dalam komunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, serta kurang memiliki fleksibilitas. “Mereka tidak bisa fokus di tempat yang ramai. Bahkan suhu ruangan bisa berpengaruh karena indera mereka sensitif, demikian pula dengan wewangian,” lanjutnya.

Selain itu, penyandang autisme juga butuh waktu dalam memahami instruksi kompleks.

Untuk itu, lanjut Prita, penting untuk memberikan pemahaman tentang spektrum autisme di tempat kerja. “Perlu penyesuaian tempat kerja yang tenang sehingga menciptakan suasana kerja yang saling menguntungkan. Autisme bisa jadi peluang menciptakan lingkungan kerja yang lebh inklusif dan inovatif,” tandasnya.

Ketua Yayasan Autisma Indonesia (YAI), Adriana S. Ginanjar menyampaikan penyandang autisme masih menghadapi berbagai tantangan untuk bisa terlibat secara aktif dalam masyarakat,
termasuk di dunia kerja (dok. Hidupgaya.co)

Dalam upaya memberikan individu dengan autisme kesempatan kerja, Frans Satriawan, pengusaha dari Treestori, memiliki kisah menarik.

Treestori merupakan tempat usaha yang mempekerjakan individu dengan autisme.

Frans mengatakan, sebelumnya ia adalah trainer barista untuk umum. “Tujuh tahun lalu saya diminta mengajari teman-teman difabel. Semakin diselami, saya menemukan keunikan pada anak-anak ini,” tuturnya.

Seiring waktu, murid difabel yang belajar makin banyak. “Pelatihan itu memberikan mereka keterampilan sekaligus peluang kerja,” ujar Frans.

Menurutnya, dengan menjamurnya kedai kopi di berbagai wilayah nusantara bisa menjadi peluang bagi anak-anak difabel mendapatkan kesempatan kerja. “Kalau anak-anak difabel ini mengalami kendala di sektor formal, ia bisa bekerja di sektor semiformal seperti kafe atau gerai kopi,” ujar Frans.

Pelatihan yang dijalankan Frans disesuaikan dengan kemampuan anak difabel. “Kita latih pasnya seperti apa. Bisa mengoperasikan mesin espresso, meracik minuman, dilatih latte art. Anak-anak difabel itu terbukti mampu jika diberi kesempatan,” tandas Frans. (HG)