Hidupgaya.co – Kanker serviks masih menjadi kanker tertinggi kedua pada perempuan di Indonesia, dengan perkiraan 36.000 kasus baru terdeteksi setiap tahun, di mana 70 persen di antaranya berada di stadium lanjut. Akibatnya, tingkat kematian akibat kasus kanker serviks masih tinggi di tanah air.
Untuk mengurangi angka kejadian dan kematian akibat kanker serviks di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan secara bertahap dengan mengedepankan pendekatan promotif dan preventif. Langkah yang ditempuh di antaranya adalah deteksi dini dan vaksinasi.
Menurut Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, kanker serviks merupakan satu-satunya kanker yang dapat dicegah dan disembuhkan. “Semakin dini ditemukan, maka semakin tinggi angka kesembuhannya. Dengan kombinasi imunisasi vaksin dan skrining, kita bisa menjaga seluruh lapisan kelompok dalam mencapai eliminasi kanker serviks,” ujarnya dalam temu media usai acara forum diskusi ‘Reafirmasi Komitmen Eliminasi Kanker Serviks: Sinergi Upaya dan Sumber Daya untuk Skrining Kanker Serviks Berkelanjutan’ di Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Forum diskusi itu digelar oleh Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia (IEKI/InaHEA) bekerja sama dengan The Asia-Pacific Women’s Cancer Coalition (APAC WCC), dihadiri oleh pelbagai pemangku kepentingan baik dari regulator, tenaga kesehatan profesional hingga pemimpin di bidang kesehatan.
Kegiatan itu menjadi wadah diskusi untuk berbagi pembaharuan terkini terkait pelaksanaan rencana aksi nasional eliminasi kanker serviks serta membahas strategi dan alternatif pembiayaan yang dapat diadaptasi dalam mencapai 75 persen target skrining kanker serviks untuk wanita usia 30-69 tahun di Indonesia.

Nadia menekankan bahwa kanker serviks yang disebabkan oleh HPV (human papillomavirus) bukanlah penyakit menular seksual. “Ini infeksi virus. Tapi meskipun virus penyebabnya, namun gaya hidup juga berpengaruh,” terangnya.
Menurutnya, untuk mencari tahu apakah terinfeksi HPV atau tidak caranya dengan melakukan skrining. “Kalau mau tahu kena infeksi HPV atau nggak ya lakukan skrining karena kalau sudah kena kanker serviks kesintasannya rendah,” tutur Nadia.
Skrining HPV DNA dan tes IVA (inspeksi visual asam asetat) bisa dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan, bisa dilakukan di puskesmas dan gratis tanpa dipungut biaya.
Tes IVA merupakan adalah pemeriksaan sederhana untuk mendeteksi dini kanker serviks atau kanker leher rahim dengan cara mengoleskan asam asetat (cuka dapur encer) pada leher rahim. Pemeriksaan ini membantu melihat perubahan sel yang mungkin menunjukkan kanker atau lesi pra-kanker.
Namun demikian Nadia mengakui, skrining HPV DNA dan IVA saat ini masih sebatas anjuran. “Jadi sifatnya tidak wajib. Namun itu kami anjurkan agar banyak kasus infeksi HPV yang terdeteksi sebelum berkembang menjadi kanker serviks, atau ditemukan di stadium dini agar kasus kesintasannya tinggi,” bebernya.
Kolaborasi berbagai pihak
Nadia menekankan, kolaborasi dan keterlibatan berbagai pihak dalam menyediakan kebutuhan hingga akses menjadi kunci penting untuk mengakselerasi percepatan eliminasi kanker serviks. “Terutama untuk meningkatkan 75 persen cakupan skrining bagi perempuan Indonesia pada 2030,” imbuhnya.
Lebih lanjut Nadia menyampaikan, upaya eliminasi kanker serviks melalui Rencana Aksi Nasional (RAN) berfokus pada tiga hal utama. Pertama, 90 persen anak perempuan dan laki-laki berusia 15 tahun harus divaksinasi. Kedua, sekira 70 persen perempuan usia 35 tahun mendapatkan skrining HPV DNA, dan terakhir, 90 persen perempuan dengan lesi pra-kanker dan kanker invasif mendapatkan tata laksana yang sesuai standar.
Apabila RAN dapat berjalan di seluruh sektor, diyakini jumlah kanker serviks di Indonesia dapat turun dan semakin banyak jiwa masyarakat yang terselamatkan dari kanker serviks.
Sejak RAN Eliminasi Kanker Serviks dirilis pada 2023, inisiatif pelaksanaan program terus ditingkatkan dan menunjukkan komitmen kuat. Langkah-langkah ini mencakup peningkatan vaksinasi, perluasan skrining hingga pengobatan pasien kanker.
Sementara itu, komitmen dalam perluasan skrining menggunakan metode DNA HPV dan tes IVA terus dijalankan secara bertahap dengan menargetkan perempuan berusia 30–69 tahun di 26 kabupaten dan 15 provinsi.
Namun demikian, berbagai hambatan seperti aksesibilitas fasilitas layanan kesehatan, keterampilan tenaga kesehatan, dan mobilisasi masih menjadi tantangan di Indonesia. Untuk itu diperlukan pendekatan komprehensif dari multipihak guna memperkuat kapasitas sistem kesehatan, meningkatkan ketersediaan teknologi tatalaksana terkini, hingga mengatasi hambatan sosial, pendanaan, dan struktural dalam tatalaksana.
Nadia mengakui masyarakat masih belum paham betul pentingnya deteksi dini kanker serviks. “Strategi dalam mengomunikasikan pentingnya deteksi dini harus digencarkan, khususnya untuk mendorong minat perempuan melakukan pemeriksaan diri secara rutin. Hal ini bisa dilakukan dengan edukasi di media sosial dan media massa, karena umumnya masyarakat mendapatkan informasi dari sana,” tuturnya.
Kesempatan sama, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Indonesia (PDS PatKLIn) Prof. Dr. dr. Aryati menyampaikan peran penting tes diagnostik yang akurat, andal dan berkualitas dalam mendorong tingkat skrining kanker serviks di Indonesia.
Diagnostik memiliki peran penting dalam menjaga kualitas pelayanan kesehatan nasional. “Ketika ditemukan di stasium dini, peluang hidup pasien kanker serviks bisa mencapai 20 tahun ke depan. Dengan skrining, banyak kasus kanker serviks yang tertangkap,” ujar Prof. Aryati.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan layanan skrining HPV DNA sebagai metode deteksi dini yang direkomendasikan, operasional testing yang berjalan lancar dan efisien menjadi krusial untuk memastikan layanan dapat menjangkau lapisan perempuan secara luas dan merata.

Terkait upaya eliminasi kanker serviks, Country Director Jhpiego Indonesia, Maryjane Lacoste mengatakan tahun ini Kementerian Kesehatan, Roche Indonesia, Biofarma dan Jhpiego berkolaborasi melaksanakan sebuah proyek percontohan di Jawa Timur yang menargetkan skrining 5.500 perempuan di wilayah perkotaan Surabaya dan 1.300 perempuan di wilayah Sidoarjo.
“Dengan menggunakan model hub and spoke berdasarkan populasi, proyek percontohan ini dapat menggambarkan kegiatan skrining secara komprehensif dan menyentuh segala aspek,” ujar Maryjane.
Hal itu mencakup sejumlah langkah, mulai dari memastikan kesiapan puskesmas dan labkesmas, melatih dokter, bidan, dan perawat, menyiapkan modul komunikasi untuk mengajak wanita melakukan skrining, dan memastikan pencatatan dan pelaporan hasil data secara akurat dan mudah.
“Pendekatan yang kami ambil menyesuaikan dengan karakter daerah masing-masing untuk memaksimalkan capaian skrining. Inisiatif ini diharapkan dapat membantu kesiapan ekosistem kesehatan dalam pencapaian target nasional, sebagaimana tercantum dalam RAN Eliminasi Kanker Serviks,” tandas Maryjane. (HG)