Hidupgaya.co – Hasrat sebagian orang Indonesia yang ingin cantik paripurna dengan cara instan menjadi ladang ‘gurih’ bagi pengusaha skincare tidak bertanggung jawab untuk meraup cuan dengan cara-cara meresahkan, bahkan membahayakan konsumen.

Hadirnya pemengaruh (influencer) yang mengiklankan skincare tertentu (tentu saja karena dibayar) – tanpa mencari tahu kandungannya – yang berhasil ‘memutihkan’ wajah dalam waktu singkat membuat bisnis skincare terasa menggiurkan.

Mengapa? Tak lain karena kebanyakan orang Indonesia sangat mendambakan kulit putih berkilau ala ala ‘glass skin‘ orang Korea meskipun dari sisi warna dasar kulit saja sudah sangat berbeda. Overclaim memang, tapi apesnya banyak yang percaya dan menelannya mentah-mentah tanpa telaah.

Peluang ini diambil oleh pengusaha skincare ‘nakal’ dengan menjual produk yang bisa memberikan hasil luar biasa dalam waktu singkat, dengan menambahkan bahan kimia berbahaya dalam produk agar hasilnya lebih ‘nendang’.

Ilustrasi produk skincare (dok. ist)

Salah satu bahan kimia berbahaya yang ditambahkan dalam produk skincare adalah merkuri, misalnya pada produk perawatan wajah milik Mira Hayati yang belakangan sangat viral dan membuat pengusaha skincare lokal ini harus berurusan dengan pihak berwajib.

Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM RI (OTSKK), Irwan, mengatakan banyaknya kosmetik merek lokal membuat kontrak produksi kosmetik dan perawatan wajah berkembang pesat di tanah air. 

Irwan menyebut, pangsa pasar kosmetik di Indonesia sebelumnya 85% dikuasai merek luar, tapi merek asing kini turun menjadi 55%. “Sisanya 45% dikuasai merek lokal Indonesia. BPOM mencatat total ada 5500 izin edar,” ungkap Irwan dalam AKKMI Inspiring Talks ‘Sustainable Compliance in the Cosmetics OEM/ODM Industry in Indonesia’ yang digelar Asosiasi Kosmetik Kontrak Manufaktur Indonesia (AKKMI) di Jakarta, baru-baru ini.

Dari banyaknya izin edar tersebut, BPOM mencatat peningkatan pelanggaran, mulai dari bahan baku, kosmetik palsu, kosmetik mengandung bahan berbahaya, klaim menyesatkan, hingga klaim berlebihan.

Hadirnya bahan berbahaya dalan skincare lokal dan klaim berlebih ini dapat menurunkan kepercayaan masyarakat pada produk kosmetik/skincare yang tengah berkembang pesat.

Untuk itu, Irwan mendorong pengusaha skincare untuk memproduksi sesuai komposisi. Selain itu produksi harus pada kontrak produksi yang jelas. “Jangan sampai belum ada izin produksi, tapi sudah produksi,” terang Irwan.

Iklan Lebay dan Pentingnya Etika

Terkait pelanggaran pengusaha kosmetik ini, Deputi Bidang Penindakan BPOM RI,  Tubagus Ade Hidayat, menyampaikan berbagai  upaya dilakukan BPOM untuk menangani kejahatan kosmetik, termasuk melakukan pencegahan impor kosmetik berbahaya di pintu-pintu masuk pelabuhan dan bandara, juga penertiban penjualan daring maupun luring, hingga penegakan hukum. “Seperti kasus Mira Hayati di Makassar kan sudah dihukum,” ujarnya di kesempatan sama.

Menyoroti soal iklan berlebihan alias ‘lebay’ yang dilakukan pemengaruh dalam memasarkan produk kosmetik, perwakilan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Ismariny,  menekan pentingnya etika dalam menjual suatu produk. “Influencer ini juga harus ada etika periklanan. Ini tentang kandungan apakah sudah sesuai dengan yang tertera di kemasan,” ujarnya.

Jajaran pemateri dan narasumber AKKMI Inspiring Talks ‘Sustainable Compliance in the Cosmetics OEM/ODM Industry in Indonesia’ yang digelar Asosiasi Kosmetik Kontrak Manufaktur Indonesia (AKKMI) di Jakarta (dok. ist)

Di tengah maraknya digital marketing, pelaku usaha kosmetik dan pemengaruh harus memastikan dan memenuhi keamanan, dan terpenting tidak mengandung bahan berbahaya.

Terkait, ini Irwan meminta kepada AKKMI untuk ikut mengawasi para anggotanya. “Kunci sukses kontrak produksi adalah komitmen dan paham regulasi serta produksi, manajerial, dan marketing,” tandas Irwan.

Mengomentari hal ini, Ketua AKKMI Sri Rahayu mengakui pelaku usaha kosmetik umumnya hanya punya merek namun tak memiliki pabrik/manufaktur, sementara di lapangan mereka tidak memiliki pengetahuan memadai tentang produksi dan perizinan. “Kami di AKKMI mengurusi semua ini sesuai dengan regulasi,” ujar Sri Rahayu. (HG)