Hidupgaya.co – Generasi Z dan Milenial kerap dijuluki ‘generasi sandwich’ yang terjepit di tengah-tengah lantaran harus menanggung keluarga inti, juga orang tua. Akibat situasi ini, gen Z dan Milenial disinyalir sulit menyisihkan pendapatan alias menabung.
Namun sejatinya fenomena generasi sandwich telah ada sejak dahulu kala, meskipun baru ‘terdengar’ dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut perencana keuangan Ligwina Hananto, hal itu tak lepas dari budaya gotong royong yang sudah kental di masyarakat.
“Gotong royong artinya, everybody’s business is our business. Itu bagus. Namun, gotong royong itu semestinya 10 orang bantu satu. Yang sering terjadi sekarang, satu orang ketiban membantu 10 orang. Dari sinilah awal terciptanya generasi sandwich,” ujar Ligwina dalam salah satu sesi diskusi DBS Foundation Bestari Festival: Impact Beyond di Urban Forest Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Dia menyoroti, generasi sandwich merupakan bagian kegagalan generasi sebelumnya. “Sandwich generation mulai terjadi bukan kemarin sore. Tapi, sebagai bagian dari kegagalan generasi sebelumnya yang menyiapkan masa pensiun sehingga harus didukung anaknya,” tutur Ligwina.

Akibat kegagalan orang tua dalam menyiapkan masa pensiun, banyak. Gen Z yang belum menikah ‘terpaksa’ menanggung biaya hidup keluarga besar, bukan hanya orang tua namun juga adik dan kakak.
Melihat fenomena itu, Ligwina menyebut itu bukan lagi generasi sandwich melainkan generasi ‘ayam geprek’.
“Kalau sandwich kan di tengah-tengah, yakni support orang tua, support anaknya. Kalau sendirian dan harus support keluarga besar ini namanya bukan sandwich generation tapi ayam geprek generation. Berat, pedas, dan porak porandalah,” ujarnya.
Untuk menghindari situasi semacam itu dia mendorong agar setiap orang merencanakan keuangan dengan bijak untuk masa kini dan masa depan.
Aturan dasar mengelola keuangan yakni jangan besar pasak daripada tiang. Ini aturan baku yang pantang ditentang sampai kapan pun. “Rumusnya sampai akhir zaman, penghasilan harus lebih besar daripada pengeluaran. Penghasilanmu berapa, pengeluaran untuk dirimu dan orang tua kayak apa,” tuturnya.
Dampak sosial berkelanjutan
Sebagai rumah bagi lebih dari 280 juta jiwa penduduknya, Indonesia memiliki teritori yang luas dari Sabang hingga Merauke, dengan lanskap demografi yang sangat beragam, ditambah dengan berbagai potensi dan tantangan yang dihadapinya.
Acara DBS Foundation Bestari Festival: Impact Beyond hadir sebagai sebuah festival yang mengupas berbagai isu sosial yang terjadi di tanah air.
Presiden Direktur PT Bank DBS Indonesia, Lim Chu Chong mengatakan, festival ini dirancang untuk memantik diskusi dan menginspirasi aksi kolektif seputar dua prioritas, yaitu menyediakan kebutuhan penting dan mendukung inklusi finansial bagi masyarakat.
“Festival ini dilandasi filosofi kami yakni from a spark within to impact beyond. Kami percaya percikan kecil yang konsisten dan dilakukan bersama-sama akan menciptakan perubahan besar yang melampaui generasi maupun batasan,” kata Lim Chu Chong dalam sambutannya.

Mengutip temuan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan World Economic Outlook April 2024 lalu, Indonesia memiliki tingkat pengangguran sebesar 5,2 persen, menjadikannya negara dengan tingkat pengangguran tertinggi pada 2024 di antara enam negara ASEAN lainnya.
Tingginya angka ini erat kaitannya dengan kualitas pendidikan yang belum merata di seluruh wilayah, begitupun dengan akses pada kebutuhan dasar lainnya seperti kesehatan, literasi keuangan, hingga edukasi akan isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Kesempatan sama, Head of Group Strategic Marketing and Communications PT Bank DBS Indonesia, Mona Monika menyampaikan bahwa dampak sosial berkelanjutan berawal dari pemahaman yang mendalam terhadap hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya.
“Melalui DBS Foundation Bestari Festival: Impact Beyond 2024 kami ingin menginspirasi setiap individu untuk mengambil langkah kecil yang berpotensi menciptakan perubahan besar dan bersama demi membangun masa depan lebih baik,” tandas Mona. (HG)