Hidupgaya.co – Indonesia memiliki kekayaan wastra melimpah. Istilah wastra merupakan nama lain untuk menyebut kain tradisional Indonesia. Wastra merupakan identitas yang bisa menjadi kekuatan bagi desainer Indonesia untuk ‘berbicara’ di kancah fashion nasional, bahkan global.
Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf/Baparekraf, Ni Made Ayu Marthini, mengatakan dari 17 industri kreatif di bawah Kemenparekraf, sebanyak 55 persen disumbangkan industri fashion, disusul kuliner 37 persen dan di posisi ketiga adalah kerajinan tangan.
“Kekuatan kita itu berbasis budaya. Wastra dari Indonesia melimpah. Dengan inovasi teknologi kita bisa create, menciptakan sesuatu. Sky is the limit,” ujar Made Ayu di acara JF3 Talk Vol. 3 dengan tema ‘Tren Fashion, Sustainability dan Inovasi Teknologi dalam Industri Fashion Global’ di Institut Francais d’Indonesie (IFI) Jakarta, Kamis (25/7/2024).
Untuk bisa menjangkau pasar yang lebih luas termasuk ke kancah global, menurut Made Ayu tidak bisa dilakukan sendiri. “Kita hanya bisa kolaborasi, tidak ada yang bisa kerja sendirian,” tuturnya.
Kesempatan itu, Ni Made Ayu mengapresiasi Pintu Incubator, sebuah program hasil kolaborasi dari JF3, Lakon Indonesia, dan Kedutaan Besar (Kedubes) Prancis melalui Institut Francais d’Indonesie (IFI).
Pintu Incubator merupakan program penting dalam mendorong desainer Indonesia untuk mencoba peruntungan di ranah global. Pasalnya, partisipan yang berhasil lolos dalam program Pintu Incubator punya kesempatan untuk menjajaki pasar global melalui Paris Trade Show, sebuah kegiatan eksklusif dan hanya dapat diikuti oleh merek yang memenuhi standar kualitas internasional dan memiliki konsistensi serta reliability.

Lebih lanjut Ni Made Ayu mengatakan, peran pemerintah (Kemenparekraf) dalam industri kreatif termasuk fashion, mencakup tiga hal. Pertama, sebagai pembuat kebijakan bagaimana fashion bisa tumbuh dan berkembang di Indonesia. Kedua, untuk memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan fashion di Indonesia, serta global. Ketiga, hadir untuk memberikan support kepada pemangku kepentingan.
“Pintu Incubator program bagus, melibatkan kolaborasi berbagai pihak. Ini yang kita butuhkan untuk memajukan fashion Indonesia,” urai Ni Made Ayu.
Fashion Indonesia jalan di tempat
Terkait peluang menembus pasar global, Thresia Mareta, penasihat JF3 dan co-inisiator Pintu Incubator, menyuarakan kegelisahan terkait situasi industri fashion Indonesia dewasa ini. Menurutnya, pelaku industri tanah air dari tahun ke tahun tidak punya ide baru – alias melakukan hal yang sama dari tahun ke tahun – yang berlangsung sampai puluhan tahun.
“Pelaku fashion Indonesia masih lakukan fashion show dengan cara yang sama tapi koleksi yang dihasilkan tidak konsisten,” tutur Thresia.
Thresia menduga, pelaku fashion Indonesia dalam melihat pasar dengan cara berbeda. “Yang saya tidak mengerti cara mereka kembangkan pasar. Sekian lama masih di lingkaran yang sama. Desainer cenderung lakukan made to order satu per satu. Dan itu berlangsung terus,” bebernya.
Dia menyoroti kebiasaan desainer fashion Indonesia yang mengeluarkan koleksi dalam jumlah 6, 8 hingga 12 paling banyak. “Sebagai desainer, kita perlu ada satu konsistensi. Kita ini mau dipandang desainer seperti apa. Kalau hanya mengeluarkan koleksi dalam jumlah sangat terbatas, pihak lain mungkin bingung ‘membaca’ koleksi itu,” urai Thresia.
Menurut Thresia, pelaku industri dalam hal ini desainer harus pikirkan bagaimana bisnis bisa maju. “Kita perlu cari solusi agar industri fashion kita bisa maju, dan ini harus dilakukan bersama-sama,” lanjutnya.
Belajar dari Paris
Bicara tentang pusat mode dunia, setiap mata masih mengarah ke Paris, karena banyak desainer dan merek besar lahir di sana.
Samudra Hartanto, desainer Indonesia kelahiran Malang, Jawa Timur – yang banyak menimba ilmu dari berbagai rumah mode besar dan desainer terkemuka di Paris – berbagi pandangannya.

“Untuk bisa menembus pasar global, konsistensi adalah hal penting, demikian juga dengan kerja sama. Kalau melakukan show di Paris juga harus konsisten. Tidak hanya satu kali saja. Lanjutkan dengan show berikutnya untuk create conversation,” terang lulusan Royal College of Art, London yang pernah bekerja di rumah mode Louis Vuitton menjadi salah satu asisten desainer Marc Jacobs.
Samudra mengatakan, agar publik mengingat karya desainer, sebaiknya desainer itu membangun cerita berbeda. “Semacam kita menonton series. Publik dibikin penasaran cerita selanjutnya tentang apa. Tak kalah penting, know your client. Kejutkan mereka dengan hal positif,” terang desainer yang pernah bekerja sebagai asisten desainer di Hermes saat perancang mode asal Paris, Jean Paul Gaultier, menduduki posisi direktur kreatif pada 2003 di rumah mode mewah itu.
Samudra menjadi bagian dari karya-karya fashion keluaran Hermes di era itu, dan memutuskan bergabung dengan Gaultier saat sang desainer meninggalkan Hermes dan mendirikan rumah mode sendiri.
Meskipun teknologi kini berkembang pesat, dia mengaku masih suka mendesain dengan tangan. “Saat itu menggambar pola tidak pakai komputer. Jadi lebih suka pakai tangan, sampai sekarang. Tapi saya juga coba keep up dengan teknologi,” tutur pendiri Samudra Hartanto Paris.
Sementara itu, Vincent Garnier Pressiat, desainer Prancis dan pendiri merek Pressiat yang juga hadir dalam diskusi membagikan pengalamannya.
Vincent mengaku ini kali pertama dia datang ke Jakarta dan akan mempresentasikan karya di JF3 Fashion Festival 2024 di Summarecon Kelapa Gading bersama sejumlah desainer fashion dari Prancis.
Selama di Jakarta, Vincent belum melihat karya desainer fashion Indonesia sehingga belum bisa mengungkapkan pendapat soal rancangan mereka.
Namun desainer lulusan Chambre Syndicale de la Couture Parisienne menyampaikan bahwa kreativitas harus dipelihara. “Kreativitas adalah segalanya. Dalam mendesain saya bisa terinspirasi oleh apa pun yang saya lihat,” ujar desainer yang pernah bekerja dengan desainer terkemuka seperti John Galliano, Maison Margiela, Saint Laurent and Balmain.
Saat merancang koleksi, desainer yang meluncurkan Pressiat pada Paris collections A/W 21 mengaku menggunakan imajinasi. “Untuk bikin koleksi yang terinspirasi oleh Egypt (Mesir) tak harus ke sana. Kita bisa baca dari buku atau sumber lain dan mengandalkan imajinasi untuk menciptakan karya,” tandasnya.
Sustainable fashion
Isu sustainability dalam beberapa tahun mengemuka, termasuk dalam fashion. Sustainability atau diartikan sebagai keberlanjutan, bisa tetap bertahan dalam jangka panjang tanpa merusak lingkungan sehingga bisa tetap menawarkan kehidupan yang baik bagi makhluk hidup di bumi.
Industri fashion dunia disebut memiliki andil dalam menyumbang sekitar 10% emisi karbondioksida dan 20% limbah air bumi, menurut data Komisi Ekonomi Eropa PBB. Karenanya, penting untuk menciptakan busana ramah lingkungan, antara lain dengan mengurangi limbah fashion.

Ciri khas dari sustainable fashion adalah menggunakan bahan-bahan yang tidak berbahaya untuk lingkungan. Misalnya, penggunaan pewarna alami (misalnya dari tumbuhan) dalam proses produksi dan sebisa mungkin memghindari bahan kimia.
Terkait fashion ramah lingkungan, Thresia mengatakan melalui merek Lakon, pihaknya berusaha untuk menerapkannya secara seimbang. “Di Lakon, kami banyak bekerja sama dengan perajin. Mereka ini butuh income untuk hidup sehari-hari. Jadi tidak bisa menerapkan sustainable fashion secara utuh karena berbagai pertimbangan. Namun kami pastikan untuk bertanggung jawab pada setiap proses yang dilakukan,” urainya.
Untuk meminimalkan limbah fashion, sebut Thresia, saat membikin koleksi Lakon akan memakai pola yang simpel dan sebisa mungkin tidak membuang kain.
“Dengan potongan yang simpel maka bisa hemat berbagai resources, mulai dari benang, kain hingga listrik. Mungkin memang tidak 100 persen sustainable fashion, namun di Lakon kami komit responsible. Kami utamakan craftmanship dan berupaya sesedikit mungkin menyisakan kain. Saat bisa mengurangi berbagai biaya, harga yang kita tawarkan ke konsumen juga jadi masuk akal,” pungkas Thresia. (HG)